Kita cuma punya waktu. Cuma itu.


 Saya tidak bisa biasa saja ketika membaca kabar tentang jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ182 sore kemarin. Bahwa kematian itu dekat sekali adanya, tapi saya sering sekali terlupa, terlena, masih menunda-nunda pekerjaan, dan selalu beranggapan saya masih punya banyak waktu. 


Apalagi tadi sore saat sedang menunggu makan malam takeaway, saya baca sekilas tulisan di Tempo digital, tentang seorang Ibu yang baru pulang mengunjungi anaknya. Ibu itu.. mengunjungi anaknya, dan pulang menumpang pesawat yang tidak pernah lepas landas. Kejadian itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kamu, saya, kita tidak pernah bisa merencanakan apakah akan naik pesawat yang akan mendarat atau yang berhenti di tengah jalan. Bahwa ternyata, ketibaan kita setelah terbang berjam-jam adalah nikmat luar biasa yang hanya disyukuri sekenanya, adalah kenyataan yang sampai sekarang butuh terus menerus pengingat naas seperti ini. 


Ibu saya juga baru kembali dari sini, menumpang pesawat, menempuh perjalanan berjam-jam lamanya. Saya tidak sanggup menyelesaikan bacaan tulisan tadi karena tidak kuat menahan pikiran jika kalau ternyata hal itu terjadi pada beliau. Tidak.. Nauzubillahiminzalik.. Tuhan tahu betapa lemahnya saya saat ini untuk menanggung kehilangan yang sedemikian rupa. Saya masih harus mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari semacam itu, karena pasti terjadi.


Ada satu doa yang saya dapat dari kertas fotocopy yang dibagikan sejak SMA. Kertas yang diprint bolak-balik itu berisikan doa-doa yang bisa dibaca selepas solat. Saya baru mulai membacanya sekitar dua tahun lalu. Kertas itu sudah sangat lusuh, dan sangat rapuh, sehingga saya harus sangat hati-hati jika mau membukanya. Beruntung setelah satu tahun dibaca terus menerus setiap solat, sekarang saya sudah hapal minimal bacaan-bacaan sehabis solatnya. Salah satu doanya adalah untuk meminta akhir yang baik. Mungkin tanpa bacaan doa ini, saya tidak akan pernah kepikiran untuk minta di-mati-kan dalam keadaan baik. Karena terlalu sibuk memanjatkan doa-doa yang bersifat short term, sejangkauan dunia semata.

'Ya Tuhanku, jadikanlah sebaik-baiknya umurku di akhirnya, dan sebaik-baik amalku kesudahannya dan sebaik-baik masaku, masa aku berjumpa dengan Engkau.'


Januari belum separuh jalan, tapi berita duka sudah tersebar di mana-mana.

Kematian begitu dekat, kenapa masih tidak sadar juga?

Kenapa kita, masih sering menunda pekerjaan, menunda kebaikan, berpikir besok lusa sudah pasti akan bertemu lagi?

Siapa yang menjamin bahwa sepuluh menit ke depan kita masih ada di sini?

Hei bukankah kamu sering solat? Solatmu tepat waktu? Siapa yang menjamin bahwa kamu nanti akan bangun dari sujudmu dan menyelesaikan solat itu?

Siapa tahu Tuhan begitu mencintaimu dan memanggilmu ketika sedang dalam posisi terdekat dengan-Nya.

O yeah, that's awesome, sih. Mau juga saya meninggal dengan cara seperti itu..


Tapi...

Jika nanti kamu pergi,

Apa yang sudah kamu tinggalkan untuk di dunia ini?

Apa yang sudah kamu perbuat, sehingga pantas untuk disebut sebagai khalifah di muka Bumi?


Yaa memang, khalifah tidak selalu artinya pemimpin. Khalifah juga dari kata khilaf yang artinya lupa, karena khalifah sejatinya adalah orang yang ditinggalkan di Bumi.

Tapi apa.. apa yang sudah kamu perbuat yang bisa membuat Tuanmu bangga ketika kamu pulang nanti?


Bersyukurlah hei kalian yang sudah dikaruniai keturunan. Mereka adalah peninggalan terbesar dan paling signifikan yang bisa kalian banggakan di depan Tuanmu kelak.

Aku sudah mengajari mereka dengan baik.

Aku sudah membekali mereka dengan baik.

Aku sudah menunjukkan pada mereka tentang dunia, dan cara memilih menggunakan naluri serta kata hati. 


Mungkin itu.

Dan bagi yang belum..

Lakukan apa yang kalian mampu lakukan, selama itu tidak menyakiti hati orang, tidak mencurangi rejeki orang, dan tidak membuat kamu hina di depan Sang Maha Bijaksana.

Jika kamu mampu lakukan kebaikan hari ini, lakukan sekarang. Jika ini sudah terlalu larut, bawa ke dalam tidurmu dengan meniatkan ini untuk dilakukan tidak lama setelah matamu terbuka kelak. 

Niat baik, apapun itu bentuknya, tidak patut dijadikan angan. Bukan soal seberapa sering kamu berniat untuk melakukan sesuatu, tapi seberapa serius kamu mewujudkannya walau sulit.


Persis seperti ide-ide enterpreneurship ya kan. It's not about the ideas, it's about making it happens.

***


Seorang rekan di kementerian Kehutananan, terbang bersama pesawat itu. Ia bawa serta istri serta anaknya yang masih balita. Mereka bertiga, kini mungkin sedang bahagia. Masih terus berjalan bersama, bersisian, menuju perjalanan selanjutnya.


Oh ya, tentu sayang. Perjalanan selanjutnya masih jauh lebih panjang dari Soetta-Supadio yang hanya kurang dari dua jam saja. Perjalanan selanjutnya melibatkan banyak pintu-pintu gerbang, melewati protokol pertanyaan, hingga nanti kita akan berkumpul kembali menunggu Hari Akhir itu tiba. Sambil menunggu, mungkin kita bisa duduk-duduk santai di pinggir sungai, di pelataran Surga yang bisa dibayangkan sekarang seperti New Zealand, tapi jauh lebih indah lagi. Bisa minum minuman enak, cangkir gemerlap, dan itu belum seberapanya surga.


Kalau pikirmu kau hanya akan hidup di sini saja, yaa.. silakan.

Silakan percaya atau tidak percaya dengan dunia itu, saya akan terus di sini, menuliskan ini berulang-ulang kali.

***


Waktu adalah satu-satunya harta yang kita punya. Seringkali, harta ini, karena terlalu melimpah kita jadi sembarangan dalam memakainya. Menghabiskan seharian tanpa ada sesuatu yang dipelajari, sepertinya sudah biasa. Menghabiskan dua puluh empat jam tanpa membahagiakan satu pun makhluk Bumi, sepertinya sudah biasa.


Waktu adalah satu-satunya jawaban dari segala pertanyaan. Kita saja yang sering tidak sabar, ingin buru-buru mengintip lalu hilang ditelan pikiran yang mengada-ada. 


Waktu adalah teman, satu-satunya yang mengiringi kita dari awal hingga akhir nanti. Selayaknya teman, seringkali diperlakukan tidak sepadan. Kadang dilupakan jika sedang senang, dibenci jika sedang sedih.


Yang kita punya hanya waktu. Hanya itu. Kalau kau pikir kamu punya uang, hanya soal waktu uangmu itu akan tergerus. Kalau kau pikir kau punya penampilan, hanya soal waktu wajah mulusmu itu berkerut dan keriput.


Scary, eh? Betapa kita punya sesuatu, tapi seringkali kesadaran itu datang ketika waktu sudah terlaaalu jauh berlalu. Tanpa sadar ternyata kita belum juga melakukan apa yang selalu kita ingin lakukan dengan alasan klasik; tidak ada waktu. 


Yuk, kita berbenah.

Benahi meja dan lemari mu yang berantakan itu.

Benahi ruang-ruang penuh barang yang kau pikir akan digunakan itu.

Kumpulkan, bagikan. Orang lain banyak yang lebih bisa menghargai benda-benda itu ketimbang kamu, dan benda-benda itu akan lebih baik jika digunakan oleh orang lain, ketimbang olehmu.


Jangan tunda kebaikan, meski rasanya menunda itu nikmat sekali. Jangan pikir kamu masih punya esok, jika menit nanti saja tidak bisa kau janjikan pada diri sendiri.


***

Bogor, 10 Januari 2021

Supadio adalah salah satu rute tersering yang saya lalui. Pernah pada satu minggu, terhitung empat kali saya mendarat di atasnya. Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu. 

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram