Posts

Showing posts from January, 2020

Manusia adalah Kumpulan dari Waktu

Image
Manusia sejatinya adalah wujudnya dari waktu. Pada tahapan saat embrio mulai terbentuk, bahan dasar dari pembentukannya adalah waktu. Dalam hitungan hari, minggu dan bulan ia lalu berubah wujud, hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Sebagaimana halnya waktu, manusia adalah bentuk dari aliran yang tidak pernah berbalik. Dia berubah beriring dengan jalannya detik, menit, jam, hari, minggu, berganti bulan dan tahun. Berubah adalah niscaya, setidaknya dalam bentuk fisik. Manusia adalah kumpulan dari waktu, yang setiap detiknya selalu kehilangan akan sesuatu. Ya, waktu. Dia terus kehilangan waktu saat sel-sel penyusun tubuhnya luruh satu persatu berganti sel yang baru. Haha, tentu saja dia tidak tahu. Maka itu hanya manusia cerdas saja yang sadar bahwa dia adalah waktu, dan senantiasa berada dalam kehilangan yang nyata. *** Bogor, 27 Januari 2020 Jika diperlukan, saya bisa sangat romantis atau sangat galak. Sangat penyayang atau sangat ignoran. Karena kaum kami (Arians), tidak m

Pagar Batu dan Rumah Orang Raijua

Image
P ertama kali menjejakkan kaki di Raijua, saya diajak oleh Pak Jesri (Kepala Desa Bellu) untuk ikut mengantar semen naik truk kecamatan ke sisi lain Raijua. Mereka sedang dalam program pembangunan jalan yang didanai oleh pemerintah. Kata Basa (kawan yang setahun tinggal di Raijua untuk Indonesia Mengajar), jalan itu nantinya akan menghubungkan area penghasil rumput laut untuk memudahkan pengangkutan. Kalau di Raijua, mereka menyebut rumput laut sebagai 'agar'. Saat berkeliling dengan truk itulah saya bisa melihat langsung separuh Raijua, yang didominasi perbukitan dan bebatuan. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap pagar-pagar batu yang ditumpuk rapi dan mengelilingi tanah-tanah masyarakat yang luas. Ada juga bukit-bukit yang ditengahnya terdapat pagar batu membuat garis lurus memanjang, seolah membagi bukit tersebut menjadi dua bagian. Jika ada terasering di bukit yang curam, maka setiap undakannya pasti disangga dengan batu-batu yang ditumpuk rapi. Rasanya sepert

Seperti saat menunggu badai

Image
Badai di Hari Minggu membuktikan bahwa cuaca memang sedang kurang bersahabat. Kapal gagal berangkat di keesokan harinya, membuat kepulangan saya ke Pulau Sabu tertunda. Dalam hati saya benar-benar khawatir jika kapal memang tidak berangkat karena saya sudah membeli tiket pesawat kecil dari Pulau Sabu ke Kupang. Pesawat ini hanya berkapasitas 12 penumpang, dan dua kursinya dikhususkan untuk pasien rujuk atau kondisi darurat lain, makanya saya harus beli jauh hari dan tidak bisa mendadak. Orang-orang di sekitar mulai membercandai bahwa saya memang tidak akan bisa pulang. Setidaknya angin badai ini baru akan normal kembali di Bulan Februari, membuat saya semakin ingin teriak, tapi yang ada malah tertawa. Jadilah hari itu, sepanjang hari saya mulai belajar untuk yakin. Sambil menghabiskan waktu duduk di bawah Pohon Beringin di halaman belakang rumah Om Bos dan Budhe, saya mencoba mengendalikan emosi agar tidak terlampau khawatir dan malah jadi tidak bisa menikmati satu-satunya momen

Menghadapi Dua Pilihan

Image
Saya harus menyebrang kembali ke Pulau Sabu dari Pulau Raijua. Entah itu Hari Senin atau Selasa, yang jelas saya harus tiba di sana sebelum Hari Rabu. Dalam hati saya selalu berbisik “Ya Allah, aku pasrahkan kepada-Mu, Engkau lebih tahu mana yang terbaik bagiku. Apakah kapal akan berlayar Hari Senin atau Selasa, Engkau Yang Maha Mengatur dan aku serahkan semua pada-Mu.” Namun begitu, saya tidak berhenti sampai di situ. Saat Hari Senin tiba setelah Minggu angin badai menerpa Raijua, pagi-pagi saya minta diantar ke Dermaga B. Leon, pemuda manis asal Sabu, menjadi saksi betapa saya khawatir sekali dan berulang kali bertanya “kenapa kapalnya tidak ada? Jangan-jangan sudah berangkat? Apa hari ini tidak ada kapal?” Sampai dia tidak tahan untuk tidak membercandai ekspresi saya pagi itu. Benar saja, sampai siang tidak ada berita tentang kapal yang berlayar ke Pulau Sabu. Ama Boro (Maboro), pemilik sekaligus pengemudi kapal andalan Orang Raijua, memang urung berlayar. Ketika saya bisa mengh

Curcol Backpacker #8: Para Perantau

Image
Pertama kali memasuki Kota Seba pikiran saya melayang ke Kota Merauke lima belas tahun silam. Ada segelombang perasaan yang serupa saat saya melihat kios-kios berjajar di sepanjang jalan pintu keluar pelabuhan, yang dimiliki oleh para pendatang dari luar pulau. Tapi sebetulnya mereka bukan pendatang, hanya penduduk keturunan luar pulau yang lama dan menetap di Seba. Bahkan sebagian ada yang kelahiran sini. Setidaknya begitu yang dijelaskan Henu, kawan baru yang saya temui di Pulau ini. Kami dikenalkan oleh mutual friend yang saat ini bertugas di Raijua. Dan ke sanalah saya akan berlayar pukul sebelas nanti. Kota Seba sekarang sudah lebih maju jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Ibu pemilik penginapan pagi tadi bercerita sambil mengantar saya ke Pasar Rakyat dengan menggunakan sepeda motornya. Dulu jalanan masih rusak, turis tidak ada yang tahu Kelabba Maja. Sayur harus menunggu kapal, dan untuk bisa beli sayur dia harus berjalan kaki karena tidak ada kendaraan apalagi tran

Curcol backpacker #7: First Stop, Seba!

Image
Kapal bersandar pukul 17.30, terlambat.. seharusnya dari jam 16.00 sudah tiba. Mungkin faktor cuaca, gelombang sedang tinggi-tingginya dan tidak ada orang lokal yang mau menyebrang di musim-musim begini. Itulah kenapa begitu saya tiba di Kota Seba, orang-orang yang saya temui menatap tidak percaya dan setengah kagum atas keberanian saya. Ummm.. berani dan bodoh memang bedanya setipis kalbu sih. Menginap di penginapan Abdullah, yang jaraknya dekat sekali dari pelabuhan. Lokasinya juga strategis karena di depan ada yang jualan bakso mie ayam, soto dan ayam lalap. All Javanese dong tentu. Saya juga diajak mampir ke rumah sepasang suami istri pendatang dari Bali yang sudah tinggal di Sabu selama sebelas tahun. Ini adalah tahun terakhir mereka di sini, rencananya jika masa kontrakan warung sudah habis, mereka akan pulang ke Bali, supaya lebih dekat dengan anak-anak. Memang ya, di setiap daerah perantau harus ada yang mengambil peran itu. Terutama untuk anak-anak baik mahasiswa PKL ata

Curcol backpacker #6: Menuju Raijua

Image
Untuk bisa menuju Pulau Raijua, pulau kecil di paling selatan Indonesia, kamu bisa menempuh dua cara: naik pesawat Susi Air dengan kapasitas 12 orang, atau naik kapal. Ada dua pilihan kapal: Kapal Feri lambat, naik dari Pelabuhan Bolok dengan waktu tempuh kurang lebih 12-13 jam, atau kapal cepat Express Cantika dengan waktu tempuh kurang lebih 5-7 jam (kalau di referensi internet 5 jam, tapi menurut orang sini berangkat jam 11 sampai sana magrib). But wait.. ini belum sampai Raijua, baru sampai Pulau Sabu. Pulau Sabu adalah induk dari Pulau Raijua, jadi pesawat dan kapal semua hanya sampai sini. Kalau tiba di Sabu magrib, berarti harus menginap semalam dulu untuk bisa ke Raijua, karena kapal yang membawa ke Raijua hanya ada setiap jam 11 pagi. Kalau mau naik kapal Express Cantika, harus kuat mental dengan metode antrian orang lokal. Kamu bisa berdiri lima belas menit dan terus menerus diserobot orang. Jadi yaa, harus agak nyelonong juga kalau mau dapat tiket. Dan jangan mepet w

Curcol backpacker #5: What to do in Kupang

Image
Sudah hampir dua jam saya duduk di pinggir pantai Ketapang Satu, salah satu pantai di Kupang yang berjejeran tempat nongkrong (walau tak banyak). Karena menginap di Kupang tanpa perencanaan, hotel yang dipilih pun yang seadanya, menurut pengetahuan sopir berdasarkan kriteria yang saya minta; gak jauh dari pelabuhan dan di pinggir laut. Hotel Pantai Timor ini memang letaknya di pinggir pantai Ketapang Satu, dengan view yang sangat memanjakan mata dan bikin betah duduk diam ber jam-jam. Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan. Saya tiba di Kupang pukul sembilan, menuju pelabuhan dan menyelesaikan semua pertanyaan soal rute saya ke Rote, Sabu dan Raijua hingga pukul sepuluh. Baru setelah itu cari hotel dan keliling sebentar dengan taksi bandara. Pukul dua belas saya menyudahi trip keliling-keliling itu, karena memang lumayan lelah juga setelah semalaman berkereta. Maka saya putuskan untuk tidur sebentar setelah sholat dan bersih-bersih. Pukul tiga sore baru saya beranjak keluar hotel

Curcol backpacker #4: Doa seorang pelancong

Image
Ya Tuhan, semoga nanti aku mendapat partner a.k.a husband yang bisa jadi teman jalan, yang tidak grumpy, siap dengan segala situasi meskipun tidak pasti, tidak mengeluh kalau tidur ditempat yang langit-langitnya seperti ini:  Atau spreinya ada stain seperti ini:  Karena biar bagaimanapun dan mungkin sampai kapanpun, aku akan tetap melakukan perjalanan-perjalanan seperti ini. Yang mendadak dan tidak pasti. *** Kupang, 9 Januari 2020

Curcol backpacker #3: Kapal gagal berlayar

Image
Yang saya takutkan akhirnya terjadi juga. Kapal pukul 14.00 tidak diizinkan berlayar dengan alasan cuaca. Ya apa boleh buat. Pada supir taksi bandara saya meminta untuk diantar ke penginapan pinggir laut. Ada, dan benar-benar pinggir laut. Sambil menunggu jadwal kapal besok pagi, bolehlah melepas pandang tuk coba memahami makna-makna tertinggal. Untung saya berjalan sendiri. Kalau bersama partner yang panikan, mungkin kita sudah berdebat. Ya Tuhan.. kalau saya meminta partner yang bisa diajak jalan dan siap dengan ketidakpastian, tanpa sikap yang berlebihan.. is that too much to ask?

Curcol backpacker #2: Orang kerasukan dan taksi-taksi bandara

Image
Perempuan berjaket kuning muda itu melewati kursi saya dengan sempoyongan. Ya saya pikir wajar, kereta memang tidak semulus itu untuk dipakai berjalan kaki. Saya kembali menekuni ponsel, menonton video yang sedikit lagi rampung. Volume headset sengaja saya pasang full, untuk menutup semua suara di sekitar, walau suara bising kereta masih terdengar. Tidak lama, saya mendengar suara orang berteriak-teriak seperti berkelahi. Saya tetap menunduk tidak peduli, toh kalaupun mereka bertengkar itu bukan urusan saya dan saya tidak mau repot-repot mengurusi urusan orang. Tapi makin lama gerbong saya semakin ramai, beberapa orang berwajah panik mondar mandir melalui kursi tempat saya duduk. Mau tidak mau saya geser sedikit headset dari telinga untuk memberi ruang bagi suara-suara luar untuk masuk. “Kakinya.. kakinya..” seorang ibu menunjuk-nunjuk kaki, rupanya perempuan berjaket kuning tadi sudah terkapar di lorong gerbong, sesekali mengerang. “Kasih balsem di kuku-kukunya..” ujar seorang

Curcol Backpacker #1

Image
Berangkat dari rumah pukul 12.15 dan sampai di Stasiun Bogor pukul 12.55, kereta commuter berangkat pukul 13.00 sampai pukul 13.20 baru sampai Stasiun Citayam. Saya tidur lagi, bangun-bangun baru sampai Pasar Minggu. Kereta baru tiba di Stasiun Gondangdia pukul 14.15, dengan asumsi perjalanan ke Stasiun Senen hanya akan memakan waktu selama lima sampai sepuluh menit. Di luar dugaan, ternyata macet juga, jadilah baru tiba di Pasar Senen pukul 14.40. Saya santai karena kereta saya baru akan berangkat pukul 15.45 jadi masih banyak waktu untuk makan  cetak tiket dan sebagainya. Saya masuk ke gerbong bisnis yang nyaman tepat pukul 15.00, menunggu 45 menit di dalam gerbong rasanya lebih baik daripada makan dulu di warung es teler 77 yang rasa nasi gorengnya lumayan seadanya.. Ini saya kemana? Yaa pokoknya naik Kereta Api Jarak Jauh lah. Selagi ada kesempatan dan alasan yang memadai, saya suka naik KAJJ. Ada nuansa magis tersendiri yang selalu saya tuliskan dari jaman dulu di blog-blog l