Menghadapi Dua Pilihan

Saya harus menyebrang kembali ke Pulau Sabu dari Pulau Raijua. Entah itu Hari Senin atau Selasa, yang jelas saya harus tiba di sana sebelum Hari Rabu. Dalam hati saya selalu berbisik “Ya Allah, aku pasrahkan kepada-Mu, Engkau lebih tahu mana yang terbaik bagiku. Apakah kapal akan berlayar Hari Senin atau Selasa, Engkau Yang Maha Mengatur dan aku serahkan semua pada-Mu.”

Namun begitu, saya tidak berhenti sampai di situ. Saat Hari Senin tiba setelah Minggu angin badai menerpa Raijua, pagi-pagi saya minta diantar ke Dermaga B. Leon, pemuda manis asal Sabu, menjadi saksi betapa saya khawatir sekali dan berulang kali bertanya “kenapa kapalnya tidak ada? Jangan-jangan sudah berangkat? Apa hari ini tidak ada kapal?” Sampai dia tidak tahan untuk tidak membercandai ekspresi saya pagi itu. Benar saja, sampai siang tidak ada berita tentang kapal yang berlayar ke Pulau Sabu. Ama Boro (Maboro), pemilik sekaligus pengemudi kapal andalan Orang Raijua, memang urung berlayar. Ketika saya bisa menghubungi beliau, saya minta kepastian untuk keesokan hari dan beliau hanya menjawab dengan “ya lihat cuaca esok hari..”

Meski saya menyerahkan keputusan semua pada Allah, saya tetap kecewa ketika tahu kapal gagal berangkat hari itu. Tapi saya menolak untuk kehilangan keyakinan, karena saya tahu Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya kecewa. Dihadirkan-Nya hari pelangi di pagi hari, air laut yang tiba-tiba surut, dan hujan serta angin yang sempat lewat di Hari Selasa. Saya masih teguh dalam yakin, bahwa Allah tidak akan mengecewakan saya.

Jelang tengah hari, kapal Maboro keluar dari gua tempat persembunyiannya. Semua orang bersuka cita dan langsung menyerbu dermaga. Mesin dijalankan, dan kami berlabuh pukul dua belas. Diiringi lambaian tangan dan pelukan erat, saya akhirnya meninggalkan Raijua bersama laut yang tenang. Teramat tenang sampai-sampai saya tertidur setelah lima belas menit meninggalkan dermaga. Saat terbangun, saya cek di peta ternyata posisi kami sudah melewati Selat Raijua yang gelombangnya besar sekali saat pertama saya datang.. (waktu itu air sampai masuk lewat jendela kapal karena tinggi gelombang setinggi jendela). Laut yang sangat tenang itu tentu adalah pengaturan-Nya yang luar biasa.

Jadi begitu rupanya.
Bahkan dalam pasrah pun kadang kita masih berharap dengan harapan yang kita pikir terbaik. Walau hati mencoba menguatkan diri agar menerima apapun yang Dia beri, tetap saja saat kenyataan tidak sesuai yang dipikirkan, kecewa itu ada. Selama kita tidak kehilanhan keyakinan, selama kita tidak memberi respon yang berlebihan, selama kita masih percaya bahwa Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya, selama itu pula Dia akan terus menghadiahi kita dengan laut-laut tenang lain, yang jauh melebihi ekspektasi kita.

***
Bogor, 15 Januari 2020
From fear to love

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

June!! (Again)

My COVID Story