Pagar Batu dan Rumah Orang Raijua

Pertama kali menjejakkan kaki di Raijua, saya diajak oleh Pak Jesri (Kepala Desa Bellu) untuk ikut mengantar semen naik truk kecamatan ke sisi lain Raijua. Mereka sedang dalam program pembangunan jalan yang didanai oleh pemerintah. Kata Basa (kawan yang setahun tinggal di Raijua untuk Indonesia Mengajar), jalan itu nantinya akan menghubungkan area penghasil rumput laut untuk memudahkan pengangkutan. Kalau di Raijua, mereka menyebut rumput laut sebagai 'agar'.

Saat berkeliling dengan truk itulah saya bisa melihat langsung separuh Raijua, yang didominasi perbukitan dan bebatuan. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap pagar-pagar batu yang ditumpuk rapi dan mengelilingi tanah-tanah masyarakat yang luas. Ada juga bukit-bukit yang ditengahnya terdapat pagar batu membuat garis lurus memanjang, seolah membagi bukit tersebut menjadi dua bagian. Jika ada terasering di bukit yang curam, maka setiap undakannya pasti disangga dengan batu-batu yang ditumpuk rapi. Rasanya seperti berada di lokasi syuting film Lord of The Rings atau The Witcher.. pemandangan alam di Raijua persis sekali dengan film-film fantasi. Aih, saya jatuh cinta.





Pagar Batu di Rumah Adat Udju Dima Keluraha Ledeunu, Raijua

Saya diberi tahu oleh seorang kawan bahwa Raijua mengingatkannya pada St Kilda di Skotlandia, (thanks, sist!). Benar saja, ada kemiripan antara Raijua dengan pulau yang berhadapan langsung dengan Samudera Atlantik itu yakni pagar batunya. Namun St Kilda sudah tidak lagi dihuni oleh penduduk, pulaunya hanya sesekali dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung tanpa menginap. Bisa jadi Raijua pun akan bernasib sama suatu nanti, jika kondisi yang sekarang tidak berusaha diperbaiki. Bagaimana tidak, di sana air tawar susah didapat. Tidak ada sungai atau danau yang mengalir sehingga sumber air satu-satunya dari hujan ataupun air tanah. Tidak semua rumah bisa punya sumur, banyak yang harus berjalan dua kilometer jauhnya untuk bisa membawa dua ember kecil air. Selama di sana, saya mau mandi pun tidak tega.

Saya datang saat musim angin tiba, Angin Barat mereka sebutnya. Gelombang tinggi, sehingga sedikit sekali kapal yang datang ke Raijua. Hal ini mempengaruhi pasokan bahan makanan, terutama sayur mayur. Tanah Raijua yang kering memang agak menyulitkan untuk ditanami sayuran, apalagi kemarin sempat musim kemarau panjang di mana semua pohon dan bukit kering kerontang. Mereka berulang kali menyebut-nyebut betapa kering dan tandusnya perbukitan hijau yang saya lewati. Saya nyaris tidak percaya kalau bukit-bukit itu beberapa bulan lalu warnanya coklat gersang kalau bukan karena semua orang yang saya temui berkata demikian. Belum lagi gangguan ternak yang memang sengaja dilepas liarkan, semakin menyulitkan orang Raijua untuk bercocok tanam sayuran, walaupun ada juga yang bisa menanam dalam jumlah terbatas.

Ternak yang dilepas liarkan di atas bukit dekat pusat solar panel



Tanah di Raijua untuk usaha pertanian. Umumnya masyarakat menanam kacang hijau sebagai komoditas pertanian



The colour of a beginning

Yang paling saya suka dari Sabu-Raijua selain keramahan penduduknya, adalah rumah-rumah mereka yang terbuat dari Pohon Lontar. Atapnya dari daun Lontar, yang diikat kuat dengan tali dari pelepah Lontar. Pun batangnya juga dari kayu Lontar atau Kayu Tuak mereka sebutnya. Dindingnya merupakan bilah-bilah Lontar yang dipotong tipis dan dijajarkan, sehingga memudahkan sirkulasi udara. Karakter pulau yang dikelilingi laut ya pasti panas, apalagi di siang hari saat matahari persis di atas kepala. Atap lontar dan dinding bilah membuat isi di dalam rumah tetap dingin walau di luar sengatan matahari bisa mendidihkan isi kepala.





Rumah Adat dan rumah-rumah jaman dulu juga dibangun tanpa paku, hanya diikat kuat menggunakan pelepah Lontar, dan hasilnya kokoh selama bertahun-tahun dengan perbaikan. Beruntung saya juga masih bisa menemukan rumah yang atap daun Lontarnya baru diganti. Warnanya ternyata berbeda dengan atap lama.

Tali pengikat kerangka atap

Warna atap dari Daun Lontar lama vs baru
Sejak awal sampai di Sabu, setiap orang yang saya temui mulai dari pemilik penginapan, pasangan suami istri yang sudah lama tinggal di Sabu (kenalannya seorang kawan yang dikenalkan ke saya), sampai penjual tiket pesawat Susi Air semuanya terkejut saat tahu saya datang dengan gelombang tinggi. Mereka kagum akan keberanian saya menyeberang laut dengan kapal cepat di musim gelombang seperti ini. Padahal terus terang saya tidak begitu mempertimbangkan kondisi cuaca saat itu, saya tidak begitu paham resiko berlayar saat Angin Barat sedang bertiup saat ini. Yang saya tahu hanya saya ingin naik kapal, dan jika pihak kapal memutuskan berangkat berarti mereka sudah menghitung resiko dan kemampuan kapal sehingga aman untuk ditempuh. Tidak sangka, bahwa ekspresi itu terus saya terima sampai di Raijua. Hampir semua orang berkata ini bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi Raijua karena sedang musim angin dan gelombang.

Tapi..
Saya bersyukur bisa menyambangi Raijua di musim pergantian kemarau ke hujan. Karena, seperti layaknya musim semi, warna-warna cantik mulai bermunculan. Ketika mereka bilang hijau ini baru saja muncul setelah berbulan-bulan kering dan coklat, ketika itu juga saya bersyukur. Saya tidak mendapati warna cantik hijau muda di tempat saya tidur dan bangun sehari-hari. Hanya di Raijua saya bisa melihat warna secantik ini.. warna sebuah permulaan.. the colour of a beginning.


All photo credit: @hsuciandari





Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

June!! (Again)

My COVID Story