Curcol backpacker #2: Orang kerasukan dan taksi-taksi bandara

Perempuan berjaket kuning muda itu melewati kursi saya dengan sempoyongan. Ya saya pikir wajar, kereta memang tidak semulus itu untuk dipakai berjalan kaki. Saya kembali menekuni ponsel, menonton video yang sedikit lagi rampung. Volume headset sengaja saya pasang full, untuk menutup semua suara di sekitar, walau suara bising kereta masih terdengar. Tidak lama, saya mendengar suara orang berteriak-teriak seperti berkelahi. Saya tetap menunduk tidak peduli, toh kalaupun mereka bertengkar itu bukan urusan saya dan saya tidak mau repot-repot mengurusi urusan orang.

Tapi makin lama gerbong saya semakin ramai, beberapa orang berwajah panik mondar mandir melalui kursi tempat saya duduk. Mau tidak mau saya geser sedikit headset dari telinga untuk memberi ruang bagi suara-suara luar untuk masuk.

“Kakinya.. kakinya..” seorang ibu menunjuk-nunjuk kaki, rupanya perempuan berjaket kuning tadi sudah terkapar di lorong gerbong, sesekali mengerang.
“Kasih balsem di kuku-kukunya..” ujar seorang ibu lain.
Seorang bapak berusaha menegakkan tubuh perempuan itu, tapi nihil. Dia terkulai lemas sambil sesekali mengerang.

Sepuluh menit kemudian kondektur mengumumkan agar jika ada penumpang dengan pengalaman medis untuk bergabung di gerbong kami. Nihil. Rupanya dari sekian ratus penumpang, tidak ada dokter ataupun perawat yang ikut menumpang. Hanya ada beberapa orang yang punya kenalan dokter dan memberi pengarahan melalui telepon.

Lima belas menit kemudian kereta tiba di Tegal. Kejadian itu terjadi selepas magrib, setelah kami meninggalkan Stasiun Cirebon. Endingnya, perempuan berjaket kuning tadi mengerang kesakitan, ditanyai macam-macam seperti ‘kamu siapa?’ ‘Keluar kamu!’ Dan teriakan-teriakan seperti yang biasa kita tonton di film-film exorcist.
Begitu sadar bahwa perempuan itu benar kerasukan, bulu kuduk saya meremang. Tapi saya menolak untuk takut dan membaca ayat kursi dengan penuh percaya diri sebanyak tiga kali. Say.. kalau si setan itu mau keluar dan masuk lagi ke tubuh lain, I definitely will challenge it because I have The Almighty.

***
Kereta tiba pukul 02.56, sesuai perkiraan. Saya berhitung cepat membandingkan harga taksi online dengan taksi bandara. Beda nya berkisar antara 15-40rb. Tapi dengan mantap saya memilih taksi bandara. Sepengalaman saya di kota ini, jalan kaki untuk menuju pool taksi online lumayan jauh, tapi bukan itu yang bikin saya keberatan, melainkan panggilan-panggilan taksi di sepanjang jalan menuju pool. Terus terang saya takut sama orang, jadi kalau ada yang manggil-manggil, mendekat begitu saya takut. Apalagi ini kan dini hari. 15-40 rb pun itu sudah termasuk tiket parkir, jadilah saya langsung memilih taksi resmi.

Supirnya melayani dengan sangat ramah. Walau saya masih menolak tuk berbicara terlalu panjang lebar.

***
Online check in memang mudah, tapi saya tidak lakukan karena lupa dan ternyata berkat itu saya masih bisa request ke petugas yang ramah, untuk minta seat di pinggir jendela. Saya ingin lihat pulau tujuan saya dari jauh.. (maskapai yang saya tumpangi memberlakukan harga khusus untuk pemesanan seat saat online check in).

Setelah menunaikan semua yang harus ditunaikan, saya mulai membersihkan wajah dan memakai riasan-riasan seperlunya. Dan disitulah saya bertemu kawan dalam perjalanan saya yang pertama: Agustin namanya. Asal Banyuwangi, tujuan Makassar. Dia sudah tiga kali ke Kupang dan memberi tips-tips bermanfaat soal tempat makan dan transportasi.

Well..
Tomorrow is uncertain.
Aku bahkan tidak tahu besok bisa kemana, apakah kapal bisa berlayar dengan ombak yang sedang tinggi-tingginya.. and I try hard not to think about it.

People travel for different reason, and mine, definitely not just about taking pictures and selfies and see things that don’t really related to my life. I mean I can go to Japan or whatever, ticket price are pretty similar, but why? I need to upgrade my life, and Japan won’t do.

***
Juanda, January 09th 2020
I took a long route and I enjoy it so much

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram