Nagori Seribu Dolok




Matahari sudah tenggelam separuhnya saat kami meninggalkan Bukit Simarjarunjung. Menyisakan semburat jingga keemasan di balik bukit Tigarasan. Danau Toba masih jelas terpampang di hadapan kami, biru dan tidak terganggu.

***

Alunan musik lagu lama, kesukaan bapak usia tiga puluhan si pemilik mobil, mengalun pelan di dalam mobil berisikan lima orang. Sengaja berdesakan, tiga orang di bangku tengah, biar hangat katanya. Saya duduk di sebelah Pak Sopir yang sedang bekerja. Mobil kami melaju kencang menembus jalan kecil berkelok-kelok yang dipenuhi pemandangan Danau Toba, nyaris di sepanjang jalan.

Hingga matahari tidak lagi menyisakan jejak, turunlah hujan. Perlahan namun pasti, hujan kian menderas. Tak ayal kami pun kedinginan, karena ac di dalam mobil harus dinyalakan agar kaca mobil tidak berembun, padahal sedari kemarin yang digunakan hanyalah penghangat mobil. Karena meskipun tidak hujan, suhu di luar bisa mencapai 20 derajat celcius.

Mulailah kami tertawa. Salah seorang berkelakar, yang disambut seorang lain. Semua tertawa, agar suasana dingin berubah menjadi hangat. Lelah? tentu saja. Satu minggu bersama, sedari pagi buta sudah mandi dan bersiap, sarapan untuk kemudian menempuh perjalan berkilo-kilo jauhnya. Berkendara dari pagi sampai malam, kadang harus terlewat jam makan siang atau malam karena mengejar jadwal yang dirancang amat padat.

Percayalah, jika ada orang yang bisa menenteng tas mahal, sepatu mahal, dan benda-benda yang kau nilai mahal, itu datang bukan dari hasil membuang muka atau menjentikkan jari tangan. Ada usaha keras, amat keras dibalik itu semua. Peduli setan usaha siapapun itu, ayahnya kah, kakeknya kah, harus kita hargai. Tidak mudah mendapatkan itu semua, yang mudah hanya mencibir.

***
Mudah bagi saya untuk jatuh cinta pada Toba. Alamnya, budayanya, orang-orangnya, MAKANANNYA, semua indah dan mudah dinikmati. Meskipun pekerjaan mengharuskan saya untuk tidur dalam waktu terbatas, mobilisasi tinggi karena berpindah kecamatan dan kabupaten dalam sehari, menjadi tidak terasa karena..

Di depan saya bisa saja terbentang area hutan lindung yang rapat vegetasinya, hijau dan rimbun pohonnya. Atau bukit megah yang tinggi menjulang, segaris lurus dengan jalan yang sedang saya lalui, seolah-olah dia menunggu saya diujung sana. Atau luas biru danau yang tidak habis-habis saya kagumi. Layar kamera melalui ponsel tidak lagi membantu. Payah kemampuannya. Saya tidak juga membawa kamera yang biasanya setia menemani. Berbagai pertimbangan, termasuk kepala yang sudah pusing dengan tumpukan pekerjaan sepertinya membuat saya menjadi kurang bersedia menikmati hal lain di luar pekerjaan. Maka saya hentikan kegiatan rekam-merekam, dan lebih banyak memandang ke luar jendela.

Ada barisan pohon di luar sana, Pulau Samosir yang kata orang sebagai asal muasal orang Batak, ada jejeran keramba ikan yang disusun amat rapi nan cantik, menggoda siapapun untuk memotret keteraturannya.

Ah, betapa manusia mencintai keteraturan. Bukan begitu? Kita bisa saja mengklaim betapa kita menghargai perbedaan, tapi tetap saja kita sibuk menyeragamkan segala sesuatu. Lihat betapa senangnya kita pada standar prosedur, pada panduan-panduan, se berbeda apapun karakter manusia, hasil yang mereka keluarkan pasti diharapkan sama, dan setara.

Memang kalau tidak lucu ya bukan living creature.

***

Bicara rindu, 
Bicara haru, 
Luangkan ruang, imajimu.

Bernyanyi merdu
Bernyanyi sendu
Bebaskan birunya hatimu, 

Ada yang tahu penggalan lagu itu? Ya, sedang mengalun di pemutar musik online saya kali ini. Hanya damai yang terasa ketika kita mengeliminasi hal-hal negatif yang berkeliaran di sekitar kita. Terlebih dalam bekerja, ketika kita dituntut untuk berkolaborasi dengan segala rupa karakter dan watak manusia. Yang berbeda-beda itulah.

Ada yang maunya selalu mengatur, ada yang maunya selalu dihargai, ada yang maunya selalu didengar, tanpa bisa dan mau melakukan hal sebaliknya pada orang lain. Simpati semakin langka, apalagi empati. Ke-aku-an seseorang semakin tinggi, yang selalu harus dimaklumi dengan 'ya gue begini!'

Saya tidak ingin terkepung dan bergumul hanya dengan pikiran itu-itu saja. Kemarin sudah dicoba untuk mencoba menyelesaikan satu masalah, dalam pikiran saya sendiri, tanpa ada action plan nyata yang saya lakukan karena kaitannya dengan kepribadian orang lain. Akibatnya? Saya mengeluarkan isi perut yang seharian saya masukkan. Padahal sudah rupa-rupa makanan yang saya kunyah, harus habis ludes hingga saya tidak kuat lagi berjalan keluar kamar mandi. Keesokan harinya, begitu sehat sudah saya raih, saya memutuskan untuk meninggalkan soalan itu. Sudahlah! Ngapain juga dipikirin tapi tidak bisa diselesaikan. Beberapa hal harus dibiarkan tidak terselesaikan. 

Untuk itu saya manjakan mata saya, memuaskan hati pada tempat-tempat indah yang ditunjukkan oleh bapak-bapak pendamping dari pihak perusahaan klien. Terlihat di wajah mereka, ingin membuat tamunya puas dan bahagia. Maka saya buat mereka bahagia, dengan membahagiakan diri sendiri. Mereka tentu tidak akan peduli dengan soalan yang saya hadapi. Apapun sebabnya, jika wajah saya murung, mereka akan berpikir sebabnya adalah pelayanan yang kurang memuaskan. Meskipun bisa saja saya murung karena belum menyesap kopi.

Adalah sebuah negeri yang membuat saya bahagia. Nagori atau Negeri disini adalah nama lain dari 'desa'. Kabupaten Simalungun, mempunyai penyebutan khusus bagi kepala desa, yaitu 'Pangulu' sedangkan ketua RT disebut 'Gotam', sebagai sebutan turun menurun yang sampai saat ini masih mereka gunakan.

Lumban Rau Selatan, bersebelahan dengan Desa Lumban Rau Barat. Saya nyaris menangis melihat sekumpulan bocah laki-laki berjalan kaki di jalanan kecil yang kami lewati. Jalanan berpasir yang permukaannya tidak rata, terbentang tebing tinggi di sebelah kiri dan jurang lebar menganga di sebelah kanan. Hari sudah sore, langit pun gelap mengundang mendung pertanda sebentar lagi hujan. Kami mengajak bocah-bocah itu untuk naik di bagian belakang mobil. Mereka berlompatan dengan riangnya, sebuah pemanfaatan yang sama menguntungkan karena kami pun butuh ditunjukkan jalan menuju desa tersebut.

Semakin jauh berjalan, semakin heran saya dibuatnya. kok ya tidak sampai-sampai.. barulah saya sadar kemudian, betapa jauh jarak perjalanan yang ditempuh anak-anak itu sepulang sekolah. Mereka memang sudah tidak mengenakan seragam lagi, hari itu hari sabtu dan sudah sangat sore. Mungkin mereka sudah jalan kaki separuh jalan dan lebih, sehingga tidak perlu lagi mengenakan seragam. Biar tidak cepat kotor, mungkin begitu pikirnya.

Tahun dua ribu tujuh belas, dimana headline koran menuliskan : Jokowi: Kampus Unpad harus punya jurusan khusus Meme (per hari ini, Selasa 12 September 2017). Masih ada anak-anak sekolah, (usia mereka mungkin berkisar SMP), jalan kaki lebih dari dua puluh kilometer jaraknya, menembus hutan belantara.

Hutan di desa mereka masih terpelihara. Ada sumber air, ada hutan Kemenyan, dan Andaliman. Berdiri di depan kantor kepala desa, yang terlihat hanyalah hamparan lahan pertanian dibatasi oleh perbukitan hijau yang masih tertutup rapat oleh tumbuhan campuran. Jika para pencetus perdagangan karbon melihat ini, mereka pasti akan senang sekali. Karena hutan yang terpisah jutaan kilometer disini, mampu menjamin ketersediaan oksigen bagi mereka yang terlanjur menggunduli hutan mereka. Mereka juga akan senang karena berhasil membuat orang-orang 'pedalaman' ini untuk tetap tinggal di 'pedalaman'. Bahaya juga ya kan kalau mereka sampai maju dan berhasil mengembangkan teknik-teknik industri. Bahan baku bisnis ekstraksi ada disini semua.

***

Sampai disitu saya harus mengehela napas dalam. Lagi-lagi bimbang dengan apa yang harus saya lakukan. Sedikitnya seseorang harus memberi manfaat pada kehidupan yang ia lalui. Bukan sekedar numpang lewat, atau numpang nama.

Makna. Mencari apa makna yang tersembunyi dibalik keramba-keramba cantik yang bertebaran di pinggiran Danau Toba. Atau barisan rapi pohon eucalyptus yang tertata rapi di perbukitan sepanjang Toba Samosir - Simalungun yang saya lewati dan hampiri.

Orang-orang disini pun rasanya sulit diajak berdiskusi soal makna. Meskipun kita kenal orang-desa Indonesia, gemah ripah loh jinawi, sepertinya sudah tidak berlaku lagi bagi para petinggi yang sudah terpapar sentuhan orang luar. Apapun yang kita bicarakan, akan lewat begitu saja tanpa didengar (oh ya, jelas. banyak orang yang mengangguk-angguk seperti paham dalam sebuah pertemuan dan presentasi diskusi but end up questioning the same old shit days after. Just happened to me, though). Karena yang mereka cari adalah tanda mata diakhir diskusi. Bahkan ada yang terang-terangan menunggu 'tanda mata' itu di saat saya menyodorkan beberapa berkas untuk tandatangan. Menurut mereka, setiap gores tinta, ada harganya. Sekalipun gores tinta itu adalah untuk kepentingan mereka sendiri.

Saya gemas tapi tidak bisa berbuat apa-apa. hanya bisa gemas, jijik sekaligus malu. Jangankan makna, diajak bicara soal kebaikan pun mereka sulit. Itulah mengapa saya lebih suka mengajak diskusi mereka-mereka sang warga desa. yang belum dibutakan oleh jabatan, meskipun yah.. padahal kelasnya hanya sampai disitu tapi seperti minta disejajarkan dengan bapak presiden yang menjadi kesayangan media tawa.

***

Kembali di dalam mobil yang sudah penuh dengan tawa. Menertawakan seseorang dan kisah cintanya yang berakhir mulus, meski miris dilalui karena sang pujaan harus dilamar oleh lelaki lain padahal mereka sudah bertahun-tahun berteman.

Topik obrolan selalu diarahkan untuk memancing saya bercerita terkait status dan kesendirian saya saat ini. Berhasil saya tepis selalu dengan tawa dan pengalih perhatian, agar mereka kembali menceritakan kisah-kisahnya yang unik dan berliku. Saya menikmati dari bangku depan, sembari menikmati jalanan gelap yang masih panjang.

Mendengarkan menjadi satu-satunya hal menenangkan yang saya lakukan belakangan ini, sembari mengamati antusiasme nada suara si pencerita, melihat gerak-geriknya, serta mencoba mengerti maksud dan motivasinya menceritakan hal-hal tersebut. Apalagi kalau si pencerita adalah tipikal orang yang senang berbicara, betah lah sudah mendengarkan berjam-jam.

Di dalam grup percakapan, ada satu masalah yang sedang ribut didiskusikan. Saya tak paham duduk perkaranya. Saya sibuk mendengarkan cerita-cerita lucu dan juga menyayat-yang diceritakan dengan lucu. Namun begitu saya tiba di mess, bertemu dengan salah satu pelaku masalah, menemukan solusinya, menghubungi ketua tim, mencetuskan solusinya, dan menghubungi pelaku masalah lain untuk menjelaskan singkat penyelesaiannya. Semua selesai kurang dari lima menit. Sumber soalan? Mendengarkan! Masalahnya hanya mereka tidak mendengar - atau mendengar tanpa memahami- pemaparan sejak awal diskusi. Akibatnya, pengetahuan yang terbatas ditambah dengan keyakinan tak terbatas, hampir membuat mereka kembali lagi ke kabupaten berjarak enam jam perjalanan subuh nanti.

Di jaman dengan komunikasi serba canggih ini, orang lebih mudah untuk berbicara, dan semakin sulit mendengarkan. Seperti orang yang tiba-tiba memberi nasihat kesehatan tanpa diminta, perlu belajar lebih banyak bahwa 'people don't like hearing opinion. apalagi kalau datang tanpa diminta'.

***

Pintar-pintarlah mengatur hati. Mengatur kata. Memahami lawan bicara. Menguasai teknik diplomasi semulus dan sehalus mungkin dengan memahami orang lain. Karena sehebat apapun manusia, akan sakit juga jika emosi nya tercederai. Tapi sebijak dan setenang apapun manusia, butuh alam yang lebih hebat lagi untuk menjadi pelipur lara,

Melalui tulisan ini, saya ingin berterimakasih pada Danau Toba dan pemandangannya yang begitu indah, karena telah menjadi penenang, sekaligus inspirasi dalam cerita perjalanan. Hutannya yang masih dijaga, semoga saja dijaga dengan kesadaran untuk kepentingan sendiri, bukan karena mengharap dana-dana hangat REDD dan skema perdagangan karbon lainnya.

***
Porsea, 13 September 2017.
Sehari sebelum berpisah dan entah kapan akan kembali lagi, now playing ~ Rainy Days on the Sidewalk 

Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

I wish this is my last try

144 Hours without Instagram