Mnimalist Millennial Talks about Sustainabilty
Kami adalah millennial yang bingung. Termakan berita di media bahwa bumi sedang sekarat, ingin melakukan sesuatu tapi nampaknya dunia tak butuh tangan kami. Jika diibaratkan bunga mawar, maka kami ini tengah menguncup dan hendak mekar. Sejak masih benih, kami selalu dibisikkan kalimat-kalimat menyemangati, bahwa kelak jika sudah besar, kami akan menjadi bunga yang berguna. Yang membahagiakan banyak orang ketika mekar dengan indahnya. Namun tepat ketika kami hendak mekar, matahari berhenti bersinar. Seolah berkata: tak usah mekar, dunia tidak butuh parasmu. Ia butuh sari mu. Bekerjalah kamu. Bersusah payah lah di ruangan sana. Pesona mu tidak lagi ditunggu. Keringatmu lah yang kami mau.
Lalu, ketimbang bermekaran dan memberi value bagi seisi bumi, kami berjalan beriringan menuju ruang ekstraksi. Yang penting sari, begitu kata matahari.
***
Di awal penulisan blog ini saya bercerita tentang dua perempuan muda, at their thirties tapi sudah sangat menginspirasi. Kami bertiga sepakat bahwa kami ingin melakukan sesuatu untuk negeri. Apapun kami bahas,. Kecuali soal hati. Sudah tidak perlu ditanya, kalian pasti sudah tahu jawabnya.
Hari ini kami kembali berkumpul, menyambut kedatangan mahasiswa pasca sarjana MIT yang tengah berlibur. Kedatangannya selalu menjadi perekat bagi saya dan seorang lagi yang tinggal di Depok.
Saya kagum pada semangatnya yang meskipun sudah mengenyam pendidikan sejak SMA di luar negeri, ia tidak pernah lupa untuk berkontribusi pada negerinya sendiri. Semangatnya menikam perasaan saya, yang merasa seperti memanfaatkan alam negeri ini dengan cuma-cuma. Saya makan, minum, menikmati pemandangan indah-indah dan tidak pernah terlintas di diri sendiri untuk ikut berkontribusi.
Sedangkan dia yang justru ingin membantu memajukan rural area di Indonesia, malah sibuk berkeliling sana sini untuk bisa mendapatkan gambaran utuh, apa yang dibutuhkan oleh negara ini.
***
Berkunjung ke rumah sejarawan, JJ Rizal di Kota Depok, dan berbincang sebentar tentang negara dan kapitalisme membuat saya agak sedikit gamang. Kenapa? Jadi begini..
Sebut saja Indonesia ini adalah primadona bagi industri ekstraksi sebagai pemasok bahan baku. Pasokan bahan baku ini didistribusikan ke seluruh penjuru dunia dengan kebutuhan yang terus meningkat dan amat mengerikan. Inevitable and undeniable. Apakah bisa dihentikan? Tidak. Tentu tidak. Meski sampai serak suara orang berteriak untuk menghentikan deforestasi di Indonesia, tidak akan pernah bisa menghalangi masuknya langkah para investor untuk menanami lahan dengan kelapa sawit, kayu, gula, secara bergantian.
Tentu dampaknya massive dan tidak main-main. Consumerism, perubahan karakter, hilangnya nilai-nilai luhur, lupa identitas dan sejarah sendiri, seperti domino efek yang tidak habis di list dalam daftar panjang penuh dosa.
Sampai sini saya harus menghela napas dalam.
Kami berdiskusi juga dengan pencerita Wayang Beber, Mas Sam dari Komunitas Wayang Beber, yang berprinsip menjadikan tontonan sebagai tuntunan, untuk anak-anak muda agar mencintai wayang. Keresahan yang ia bagi dalam gambar yang di beberkan pun sama, tentang masuknya investor dan pembangunan bertajuk 'industri' ke desa-desa yang mengakibatkan perubahan tatanan, serta merusak sumber-sumber penghidupan yang selama ini diperoleh dari alam.
Merusak?
Tanya kami dalam hati.
Mungkin ada benarnya yang mereka katakan, bahwa investasi dalam wujud apapun dasarnya adalah greed. Ingin mengeksplorasi sebanyak-banyaknya demi meraup keuntungan semaksimal mungkin. Tanpa peduli mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh penduduk setempat.
Jikalah bisa dikatakan, stereotype orang yang tinggal di desa, adalah bahwa mereka bekerja secukupnya. Ketika sudah cukup untuk makan hari itu, mereka lebih memilih untuk diam dan beristirahat. Menikmati secangkir kopi dan pisang goreng panas. Sesekali diselingi oleh isapan sebatang rokok, dan cerita-cerita tentang kehidupan.
Saya pernah tinggal di tiga desa di Kalimantan Tengah, live in di rumah warga dari Suku Dayak. Salah satu desa masih sangat jauh dari kota, tidak ada sinyal sama sekali, dan hanya berpenduduk sebanyak 72 KK. Kebiasaan para lelaki di desa tersebut adalah ke ladang pada pagi hari, membersihkan rumput, menyadap karet, atau pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar. Menjelang tengah hari, sekitar pukul sepuluh atau sebelas mereka pulang ke rumah. Duduk-duduk di beranda sambil menenggak tuak dan arak.
Hingga matahari nyaris tergelincir, barulah kembali ke ladang, atau sungai jika butuh ikan. Mudah. Prinsipnya, asal bisa makan hari itu maka mereka aman. Tidak perlu repot-repot menyambi pekerjaan di siang hari karena mereka tidak butuh itu. "We are happier this way" begitu ujar salah seorang bapak yang sudah sepuh suatu hari.
Jika disebut budaya, itulah budaya mereka yang juga adalah budaya Indonesia.
Sampai orang kota -seperti saya- masuk, melihat cara hidup mereka yang berbeda dari kehidupan di kota, melihat makanan yang mereka makan lalu saya anggap itu tidak sehat dan higienis karena tidak di tempatkan pada tempat tertutup dan bersih, hingga timbul keinginan untuk 'menolong' mereka agar hidup lebih layak.
Apakah saya salah dengan beranggapan seperti itu? Tidak. Wajar bukan jika seseorang melihat sesuatu yang tidak lazim dan tergerak hati untuk merubahnya?
Apakah orang desa butuh saya untuk merubah cara hidupnya? Bisa jadi iya dan bisa jadi tidak. Mengingat mereka bahagia dan merasa cukup dengan cara demikian, semestinya mereka tidak perlu diubah jika perubahan malah akan mendatangkan stress.
Tapi pola hidup seperti itu, apakah perlu dipertahankan? Tidak memanfaatkan waktu secara produktif? Or define productive..
***
Industri yang tidak dapat dihalau itu, kini telah memiliki tonggak kontrol bernama sertifikat sustainability. Skema sertifikasi ini mendorong perusahaan-industri apapun untuk berproduksi secara 'baik' bagi lingkungan sekitar dan masyarakat lokal, di bawah pengawasan badan-badan tertentu yang legitimate.
Setidaknya ini bisa menjadi angin segar bagi para millennial yang bingung menentukan apakah industri memang berdampak seburuk itu, atau masih bisa di cegah. Karena menghentikan laju investasi di negeri ini, seperti menggenggam bara yang tidak akan pernah bisa dilempar selama setiap pihak (pemerintah dan non pemerintah) masih bekerja sendiri-sendiri dan tidak mau berkolaborasi.
***
Sadar bahwa karakter Indonesia ya begini ini. Satu desa yang saya ceritakan tadi memang tidak bisa menjadi stereotype desa-desa lain di Indonesia, karena setiap desa pasti punya karakter berbeda (untuk itu mereka membentuk desa, karena kesamaan karakter diantara sesamanya dan perbedaan karakter dengan tetangganya).
Sadar juga bahwa arus globalisasi bagai listrik yang terus mengalir, tidak bisa dicegah apalagi dipadamkan karena semua orang membutuhkan, selama masih mendewakan konsumerisme.
Mengajak orang untuk berhenti melihat keluar dan memperbanyak melihat ke dalam pun masih sulit karena millennial cenderung didiamkan dan dianggap anak masih ingusan (ya kadang-kadang kalo lagi pilek). Tidak mudah mengajak orang - apalagi yang lebih senior- untuk beralih ke metode-metode baru karena itu sama saja dengan mengubah mindset yang selama ini telah ia bangun. Tantangannya jelas dan besar: EGO. Kalau sudah sampai disitu, segala usaha hanya nampak bagai bubur sumsum tanpa gula merah.. Hambar (tapi masih enak).
***
Beruntung saya masih belum bosan dan belum menyerah mempertahankan prinsip minimalist ini. Meski masih asing di kalangan peer group saya, saya yakin suatu hari nanti, orang pasti akan menyadari lelahnya mengejar hasrat-konsumsi.
Maka hingga waktunya tiba, saya akan terus bernyanyi dalam hati, mendengarkan lagu-lagu yang spark joy dan membuat saya senyum-senyum sendiri.
Yaah.. Seperti Mashup nya Jason Mraz dan Colbie ini, Fly me to the Moon, Lucky!
Comments
Post a Comment