Travel Through Time to Raijua


Menuju Raijua.. bahkan perjalanannya adalah petualangan tersendiri. Kamu harus terbang ke Kota Kupang (atau Waingapu), tapi saya memilih Kupang, lalu berlayar dengan kapal cepat selama 5-7 jam untuk menuju Pulau Sabu. Sebenarnya ada beberapa pilihan untuk ke Pulau Sabu dari Kupang, yaitu dengan naik pesawat Susi Air selama kurang lebih 55 menit dengan harga sekitar 1,3 juta, atau naik kapal Ferry lambat dengan waktu tempuh selama 12-13 jam seharga Rp 80 - 120rb per orang, atau naik kapal Ferry cepat yang berangkatnya malam dan sampai di Pulau Sabu pagi (jadi kurang lebih 8 jam juga). Kapal cepat harganya berkisar di 200rb-an, saya sendiri memilih naik kapal Cantika Express kelas VIP seharga Rp 262 ribu.

Di dalam kelas VIP Kapal Express Cantika, tapi jendelanya terlalu tinggi untuk bisa duduk lihat laut

Tenang, ada jaket keselamatan. Tadinya saya mau bawa sendiri karena takut menyeberang selama tujuh jam. Tapi rupanya yang harus lebih dikhawatirkan itu menyeberang dua jam ke Raijua. Tidak ada jaket pelampung tentunya,

Sepanjang jalan dengan Express Cantika ada hiburannya. Waktu tempuhnya bisa dipakai nonton tiga film, mulai dari film Cina kolosal, horor jelangkung, sampai Marvel Batman
Sebetulnya pilihan saya itu bukan pilihan yang tepat, karena orang lokal akan lebih memilih untuk naik kapal Ferry Funka yang berangkat malam dari Kupang dan tiba di Pulau Sabu pagi. Karena kapal kecil yang akan mengantar dari Pulau Sabu ke Pulau Raijua adanya pukul sepuluh pagi. Kalau pakai rute saya, minusnya kalian harus menginap di Kota Seba (Ibukota Pulau Sabu) dengan harga penginapan berkisar antara 200-450rb. Saya sendiri memilih untuk menginap di Penginapan Abdullah yang harga per malamnya Rp 300.000 tapi bangunannya masih baru, jadi masih bersih dan air tawar pun deras. Di sekitar penginapan Abdullah banyak pedagang makanan pendatang, (muslim), sehingga tidak perlu takut kalau kangen bakso. Di depan penginapan juga ada Masjid, jadi masih bisa dengar suara azan saat subuh. Kenapa itu penting? Karena di Raijua nanti, itu semua tidak tersedia sama sekali.
Berangkat ke Raijua dari Pulau Sabu naik kapalnya Ama Boro

Bersandar di Dermaga B Raijua karena ombak yang terlalu kencang akan berbahaya kalau bersandar di dermaga normal

Isi di dalam kapal Maboro (kalau pulang dari Raijua sebaiknya ambil yang di sisi kanan sejajar dengan bangku pengemudi. Bisa terlihat Pulau Sabu pas sudah dekat. Ngomong-ngomong, itu Maboro dengan topi jeraminya yang legendaris

Ama Boro andalan orang Raijua, yang berjasa menghubungkan dua pulau dari keterasingan,
Pukul sepuluh pagi saya menuju pelabuhan, harus tepat pukul sepuluh supaya tidak ditinggal, atau tidak kepagian menunggu penumpang lain. Karena waktu saya berangkat itu sedang gelombang tinggi, jadi menunggu di dalam kapal saja terombang-ambingnya sudah luar biasa memusingkan. Pengemudi sekaligus pemilik kapal dipanggil Maboro, atau Ama Boro. Ama adalah panggilan untuk laki-laki (seperti abang/mas), sedangkan Boro adalah Nama Sabu nya si bapak nahkoda. Saya lupa bertanya artinya Boro apa. Harga tiket kapal ke Raijua sewaktu saya berangkat hanya Rp 50.000 tapi pulang dari Raijua kami dikenakan tarif Rp 100.000. Tapi tarif ini cukup fair, karena Maboro sudah bilang sejak kami turun (setiba di Raijua),

'Nanti kapal ada lagi Senin. Tapi tiketnya seratus ribu. Karena gelombang lagi tinggi' 

Rupanya, perhitungan harga tiket itu menghitung dua kali trip Maboro setiap hari. Dia berangkat pukul delapan pagi mengantar penumpang dari Raijua ke Sabu, tiba di Sabu sekitar pukul setengah sepuluh, dan kembali lagi ke Raijua dari Sabu sekitar pukul sepuluh. Tapi lagi-lagi, karena gelombang yang sedang tinggi, tidak ada orang dari Sabu yang mau ke Raijua. Pedagang, perawat, guru yang sedang berlibur, semua menunda kedatangan mereka ke Raijua setelah gelombang dan angin badai mereda. Selat Raijua memang agak kurang ramah terhadap yang lewat. Saat saya datang, gelombangnya setinggi jendela, kapal terombang-ambing membawa air laut masuk lewat jendela. Saya pun hanya bisa terduduk pasrah tanpa bisa bergerak, karena salah gerak sedikit, pasti saya akan muntah. Sewaktu kami baru bertolak dari Sabu saja, tidak sampai sepuluh menit sudah bergantian suara orang mengeluarkan isi perutnya.

***

Di Raijua sudah ada listrik dan sinyal, walau hanya menyala pukul lima sore sampai sekitar pukul enam pagi. Jalan darat bisa ditempuh dengan motor atau mobil untuk menjangkau pulaunya, tapi jalurnya  menanjak dan di beberapa tempat berbatu sehingga agak sulit untuk diakses dengan motor kecil biasa.
Solar panel dibuat dari Bandung, cukup untuk nambah-nambah listrik di Raijua, dan dari atas bukit ini bisa kelihatan Raijua, dan Mesara di Pulau Sabu

Penginapan atau kos-kosan tersedia, dengan harga yang unik. Per orang dikenai harga Rp 300.000 per malam, tapi jika satu kamar diisi dua orang maka masing-masing tetap harus membayar 300rb. Soal penjual makanan, walau tidak banyak pilihan tapi ada satu-dua yang berdagang nasi atau bakso. Salah satunya Sekertaris Camat yang berjualan di dekat Dermaga Raijua.

***

Visitting Raijua makes me feel like travelling through time. Mono-rail, komuter, pembayaran dengan tapping kartu, rasanya jauh di masa depan. Orang harus berlayar menyeberangi laut dan selat yang gelombangnya ganas untuk bisa sampai di sana. Suguhan pemandangannya pun masih dipenuhi dengan batu-batu, seperti di adegan-adegan film kolosal. Pagar batu, meja batu, tebing tinggi menjulang bertahtakan batu hitam besar, bukit hijau yang dibatasi oleh bebatuan yang disusun rapi, kuda-kuda merumput..
Naik tebing yang tinggi diajak Om Boss (pria berambut putih), foto diambil oleh Basa

Pagar batu, semakin tinggi status sosial si pemilik tanah, semakin rapih tatanannya

Yang seperti ini berhampar di mana-mana. Padang rumput luas dengan batu-batu yang disusun rapi jadi pembatas,

Ada lelucon di antara orang Raijua, kalau dunia mau perang, perang saja. Orang Raijua akan tetap bersantai dan bercanda tertawa di bawah pohon menertawai mereka yang berperang. Bahkan pernah di tahun 1998, orang Raijua melakukan ritual menghilangkan pulau agar tidak ada pengunjung yang datang. Waktu itu dunia sedang mengalami kehancuran ekonomi dan Orang Raijua.. well.. island boy will be island boy. 
chillin in the backyard, just to kill the time (ini sewaktu saya tahu saya tidak bisa pulang hari itu karena  gelombang terlalu tinggi)

Makan malam perdana, bersama Om Boss dan Budhe yang baik hati, yang selalu masak lebih supaya orang-orang seperti kita ini bisa makan

Lantas apa yang bisa dilihat di Raijua?
Tentu saja napak tilas sejarah. Di sana ada tapak kaki Gadjah Mada, baju kebesaran peninggalannya, dan juga sumur bekas mandinya yang masih dilestarikan pemda setempat. Juga ada rumah-rumah adat tempat berundingnya para raja. Raijua yang kecil, Raijua yang terdepan, dulu pernah menjadi tameng pertahanan Indonesia semasa perang melawan penjajah. Sisa-sisa meriam, goa tempat berlindung, masih bertahan melawan waktu. Sungguh peninggalan yang pantas untuk dilihat oleh mata kepala kita sendiri, karena bisa jadi keyakinan Orang Raijua itu benar adanya bahwa Patih Gadjah Mada asalnya adalah dari Raijua.
Nanti saya cerita lebih banyak tentang rumah-rumah adat ini 

Goa batu di pinggir pantai dekat Dermaga B, menarik untuk ditelusuri saat air sedang surut

Naik ke atas tebing, sebagai rangkaian penutup dari acara 'jalan-jalan di Raijua'

Orang Raijua masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaannya. Kepemilikan tanah bersifat komunal, yaitu setiap keluarga berhak atas sebidang tanah yang mereka garap bersama. Walau tidak banyak tanaman yang bisa tumbuh, selain kacang hijau dan lontar, tapi bertani tetap menjadi pilihan bagi Orang Raijua. Selebihnya mereka bergantung pada hasil laut, dan kini budidaya rumput laut (atau disebutnya agar).

Yang membuat saya jatuh hati adalah batu-batu peninggalan jaman Megalitikum yang masih bertahan, masih disimpan, dan ditunjukkan dengan bangga oleh siapa saja yang menjaganya. Orang Raijua senang jika ada yang datang, dan mereka.. sebagaimana karakter khas Sabu, adalah orang-orang yang sangat ramah terhadap pengunjung. Psst.. katanya sih berbeda dengan orang-orang di pulau sebelah yang terkenal itu. Haha.

Selama saya tinggal di Raijua, rasanya mudah sekali untuk bersyukur pada Sang Pencipta. Karena debur ombak terdengar dari jarak tempat saya duduk-duduk menghabiskan waktu di bawah Pohon Beringin yang rindang, karena langit malam bertabur bintang mudah sekali saya saksikan tanpa terhalang suatu apapun, karena matahari terbit dan terbenam akan menimbulkan gradasi warna langit yang rupawan tanpa ada kabut asap atau bercak kecoklatan yang tidak sedap dipandang.

Pantainya yang bersih, bukitnya yang berbatu, tebingnya yang tinggi, semuanya kini menjadi gambar yang ingin saya putar berulang kali setiap saya menutup mata dan ingin membayangkan sesuatu yang indah.

Pantas saja Raijua juga disebut Pulau Seribu Dewa, mungkin dulunya dewa-dewa juga pernah penat, dan Raijua.. adalah tempat yang paling pas untuk menghilang. Terputus dari dunia luar, baik secara fisik maupun secara emosi. Kalau kamu adalah seorang arkeolog, antropolog, atau simply seorang peneliti tanah yang penasaran dengan sumber air tawar untuk Pulau Raijua, pertimbangkanlah pulau itu untuk tempat penelitianmu. Indonesia akan sangat berterima kasih jika Raijua nya tidak berakhir tanpa penghuni sebagaimana pulau-pulau kecil terluar lain di peradaban yang sudah lebih mumpuni.
Senin Pagi, langit cerah tidak menjamin kapal berangkat hari itu

Pulau Seribu Dewa, Pulau Seribu Lontar, Pulau Seribu Kenangan

So long, Raijua. I will forever remember this journey


***

Bogor, 02-02-2020
Dear Basa,
Nikmati hari-hari terakhir di sana dengan maksimal ya. Karena pasti akan sangat rindu. Rindu sekali.

Comments

Popular posts from this blog

June!! (Again)

Warteg Anugerah

My COVID Story