A Fault in My Minimalism; And How to Deal With That





At the end of the day, we have to clear our mind from hatred and guilt. Those two only eliminate peace that we need. 


***

Karena saya merasa bersalah. Dalam dua hari ini telah merasa gagal menjadi minimalist. Saya kini berusaha untuk mengingatkan diri sendiri bahwa tidak perlu terlalu keras dalam memegang prinsip yang baru. Ya, minimalism tergolong baru bagi saya. Maka tidak perlu terlalu berlebihan dalam bersikukuh. Kompromi sesekali juga perlu.

Because everyone can be a minimalist. I can. YOU can. All of us, we can be a minimalist.

Asalkan mau dan konsisten.

Seperti misalnya, seorang muslim yang ingin berhijrah menjadi lebih taat. Mulai dari gaya berpakaian ia ubah, cara bertutur sikap, memperbaiki ibadah, hingga caranya berpikir dan memandang permasalahan. Yang tadinya pakai baju serba ketat, diubah menjadi longgar. Kerudung yang diikat ke leher, agak dipanjangkan menutupi dada. Sholat yang tadinya diulur hingga ke penghujung, mulai dimajukan menjadi awal waktu. Yang tadinya masih sering menggerutu kesal dan marah, mulai mencoba sabar dan beristighfar.

Tentu proses itu semua tidak terjadi dalam semalam. Sebulan, atau setahun. Ada orang yang akhirnya menyerah di tengah jalan dan kembali ke jalannya yang semula, bukan jalan hijrah. Ada yang drastis sekali, namun tidak bertahan lama. Maka Allah pun suka yang pelan-pelan. Yang mengulurkan jilbabnya perlahan, tidak terburu-buru karena semua proses dilakukan dari hati. Hanya dia dan Dia yang tahu.

Minimalism juga adalah hijrah saya. Disamping mencoba menjadi seorang muslim(ah) yang lebih percaya pada hati dan Tuhannya, saya juga ingin berkontribusi dengan baik pada diri sendiri.

Tapi dua hari ini saya kehilangan kendali. Jujur saja, semenjak sakit saya agak kembali menjadi diri saya sebelum menemukan minimalism. Sebabnya oleh emotional clutter yang belum juga saya benahi, semakin membebani, akhirnya berdampak pada kesehatan fisik. Lalu setelah fisik saya terdampak, saya menjadi lebih manja dan membenarkan segala perilaku yang saya lakukan. Termasuk belanja.

Dulu.. sebelum saya menemukan minimalism, hobi saya adalah mengelilingi seisi mall. Memasuki setiap outlet, dan membawa pulang beberapa barang yang sebetulnya tidak saya butuhkan. Boros? Jelas. Saya tidak pernah bisa menabung, dulu. Selalu habis entah kemana. Rutinitas itu nyaris saya lakukan dua sampai tiga kali setiap minggu, terlebih ketika kerjaan di kantor sedang kusut seperti benang.

Sepulang kantor langsung ke mall, dan baru beranjak pulang setelah outlet-outlet mulai tutup. Berjalan kaki 3-4 jam bukan masalah buat saya, demi mengelilingi satu demi satu penjaja kebahagiaan.

Hari ini, empat bulan sudah saya mulai menekuni minimalism secara benar-benar serius. Maka saya ijinkan diri saya untuk melakukan kebiasaan lama itu, karena memang emotional clutter yang sedang saya bawa ini, sedang unik-uniknya.

Bedanya, dari semua benda yang saya beli, hanya 3 item yang bukan merupakan kebutuhan. Jadi levelnya adalah;
- gak butuh dan gak pingin tapi warnanya lucu harganya murah - ingin - ingin and oh my God I'd really happy if I can have it - butuh. Jika di kategorikan maka; gak butuh dan gak pingin tapi warnanya lucu harganya murah = level 1, ingin = level 2, ingin and oh my God I'd really happy if I can have it = level 3, butuh = level 4.

Tiga item tadi ada di level 3. Dan akan saya tebus dengan mengeluarkan minimal 3 item dari dalam tempat simpanan saya.

***

Jadi tidak masalah apakah kamu adalah orang yang masih penuh keinginan, masih senang jajan dan belanja hal-hal lucu, kamu tetap bisa jadi seorang minimalist. Minimalism akan membantu mu mengontrol diri sendiri, terhadap benda-benda yang tidak kamu butuhkan, sehingga kamu bisa menyimpan uangmu untuk hal-hal yang lebih berguna.

Caranya, setiap kali dirimu main ke mall, dan tergoda untuk membeli benda-benda unik yang sebetulnya tidak kamu butuhkan, maka kamu bisa kendalikan dirimu dengan; bertanya apa kamu butuh atau ingin, level 4, 3, 2, atau 1 kah benda itu? Jika jawabannya bukan 4, maka tanya lagi, does it spark joy? Dengan ini kamu boleh menyentuh benda itu. Jika masih ragu, kamu pegang dan pandangi terus. Bayangkan dirimu menggunakannya. Bayangkan apakah kamu bahagia mengenakannya, atau terasa biasa saja? Bayangkan dimanan nanti akan menyimpannya, apakah benda itu akan membuat rumah semakin sesak? Disini lah kita melatih diri untuk jujur pada diri sendiri. Jujur pada apa yang kita mau. Senangkah kita jika memiliki benda ini? untuk siapa kesenangan ini? diri sendiri atau orang lain? senang karena nyaman kah atau senang karena ingin dilihat orang?

Jika jawabannya agar dilihat orang, maka simpan kembali di pajangan. Karena anda tidak butuh itu.

***

Setiap orang yang hendak tumbuh dewasa, harus tahu apa yang ia mau. Harus bisa mendefinisikan hidup seperti apa yang ingin ia jalani. And that's beyond money and career. Pada hal-hal yang sebetulnya tidak melibatkan kemampuan bernegosiasi, seperti;

ingin menjalani hidup yang bebas dari stress, secure, feel loved and be loved, ingin bisa lihat sunset setiap hari, ingin damai tanpa terusik dari apa kata orang, dan seterusnya.

Definisikan satu-satu. Dan jika kamu single, mungkin jodohmu baru akan muncul setelah semua itu jelas, karena begitu dia datang, kamu tahu itu dia. Kenapa? karena dia memenuhi semua kriteria dream life mu.

"In life, everything that we want the most, never come easy" -typewriter voice-. 

***

Ini semua tentu bukan proses satu malam. Tidak instan dan butuh sabar. Sembari menjalaninya, kamu akan menemukan passion mu yang sebenarnya. Passion adalah ketika kita tetap melakukannya, meski tidak ada orang lain yang melihat. Kita tidak butuh audiens untuk melakukan hal yang kita cintai, passion kita. Tapi terus saja berkarya, menorehkan jejak.

This is the way to loving our self. To do the things that we loved. Until one day, someone will come and love it the way we do. They'll love it unconditionally, as much as we love them.. unconditionally. 

***

Saya jadi teringat film Blade Runner 2049. Saya suka sekali film itu, karena ditengah gempuran film-film yang berlomba-lomba menghancurkan dunia lalu menyelamatkannya, Blade Runner justru berbicara tentang hal terkecil yang ada di jagat; pikiran manusia.

Kita semua berpikir kita ini spesial. Mendengarkan suara-suara yang sebenarnya kita bangun dari alam bawah sadar sendiri, seolah dilontarkan oleh orang lain. Padahal itu tidak nyata. Suara yang ingin kita dengar. Yang mengatakan bahwa kita ini istimewa. Kita spesial. Dan itu tidak nyata.

Apa hubungannya minimalism dengan Blade Runner?
Akan saya ceritakan nanti,
Terimakasih sudah mengikuti cerita-cerita dari blog ini.

Comments

Popular posts from this blog

June!! (Again)

Warteg Anugerah

Something to Look Forward to