Celebrating Two Years of Minimalism





Minimalism adalah entry point bagi saya menemukan apa yang saya yakini sekarang. Saya hanya ingat awal Januari 2017 lah pertama kali saya mendengar kata ini, dari obrolan kopi sore hari bersama Ka Bukhi dan Ka Dee. Waktu itu, kami sedang sangat antusias untuk berbenah diri menuju kehidupan yang lebih dewasa.

Singkat cerita, kami pertama kali dipertemukan di Ubud, Bali pada pelatihan Rural Enterpreneurship. Lepas dari situ, kami menjadi teman akrab yang bertukar cerita tentang banyak hal karena latar belakang kami yang berbeda. Kami bahkan membuat grup obrolan sendiri yang isinya hanya kami bertiga (dan ngomong-ngomong saya punya tiga lagi grup bertiga lain, yang membuat saya berpikir, ternyata group of three itu efektif sekali ya).

Sebentar lagi akan genap dua tahun saya mengenal minimalism, meskipun prakteknya baru berkisar 1,5 tahun yang lalu. Saya tidak langsung mempraktekkan minimalism ketika disodorkan teknik ini oleh Ka Bukhi. Hanya mencoba untuk menelusuri, membaca, dan menonton video-video ted-talk.

Praktek minimalism baru benar-benar saya terapkan setelah patah hati paling dahsyat di 2017. Saya sudah agak lupa patah hatinya karena apa, dan bagaimana rasanya, tapi saya masih ingat apa yang saya lakukan kala itu: pindah rumah. Pindah dari kamar kos yang sempit, adem dan tenang, ke rumah kontrakan di perumahan yang jauh dari jalan raya (tapi sering macet karena angkot). Dari situlah saya mulai mengkurasi barang-barang, mulai memilah mana yang direlakan pergi dan mana yang tetap tinggal, dan mulai menjaga ketat nafsu belanja saya agar tidak kelewat punya barang banyak. Alhamdulillah, praktek ini masih terbawa sampai sekarang, yang meskipun saya sering sekali keluar kota, saya jarang sekali membawa oleh-oleh berupa benda.

Pada tulisan kali ini, saya ingin menceritakan perubahan dan hal-hal yang saya temukan dalam kurun waktu dua tahun saya mengenal minimalism.

Cuti untuk kurasi

Saya menemukan kesenangan tersendiri ketika mengeliminasi benda-benda yang saya miliki. Marie Kondo dalam bukunya the life-changing magic of tidying up mengemukakan teori spark joy. Teori itu saya pakai hampir di semua aspek hidup saya sekarang, dan benar-benar melegakan. Saya bahkan pernah mengambil cuti, hanya untuk mengkurasi benda-benda di rumah saya ketika saya sudah mulai merasa terbebani, mulai sedih tidak jelas, dan perasaan-perasaan tidak enak lain mulai menghantui. Dan ya.. perasaan lega itu masih sama, ketika satu kardus benda-benda keluar dari rumah ini untuk mencari pemilik baru.

Get to know my self

Ini adalah harta paling berharga yang saya temukan, terutama di 2018 ini. Ibaratnya 2016 - 2017 kemarin adalah masa-masa di mana saya dihancurkan, dilebur, dipilin, dibanting, seperti adonan cinnamon roll sebelum dipanggang. Saya nyaris kehilangan diri saya, tidak tahu kemana arah tujuan hidup saya, dan sedih khawatir berkepanjangan yang saya tidak tahu bagaimana cara menghilangkannya. Di 2018 ini, saya seperti sedang dibentuk kembali, seperti mengenali diri saya sendiri lagi, dan itu berdampak pada perubahan yang sangat besar dari cara saya memandang sekitar.

Apa hubungannya?

Begini. Teori spark joy mengajarkan kita untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri, yang sepertinya kita seperti berkomunikasi dengan benda-benda, tapi sejatinya itu adalah perjalanan ke dalam diri sendiri. Mengambil benda yang akan dikurasi, dirasakan sentuhan kala memegang benda itu, kalau masih kurang dekap benda itu dengan agak lama sambil bertanya, apakah benda ini membuat saya bahagia? Jika melihatnya saja sudah membuat senang, maka tidak ada salahnya kita simpan benda itu. Tapi kalau melihatnya saja rasanya biasa-tidak terasa apa-apa, ketika didekap pun sama, maka kita bertanya lagi apakah saya punya cukup ruang untuk menyimpan benda ini? Jika jawabannya iya, maka bertanya lagi apakah benda ini akan lebih berguna jika saya simpan, atau jika saya berikan ke orang lain? Jika jawabannya lebih berguna jika diberikan pada orang lain, maka jangan ragu untuk melepaskannya.

Teori ini saya gunakan di hampir setiap hal yang akan saya lakukan; memenuhi ajakan teman untuk ngopi bareng, misalnya. Jika saya rasa ngopi bareng itu membuat saya senang, akan saya terima ajakannya. Tapi jika saya tidak senang, maka akan saya tolak tanpa memberi alasan. (Kalau dulu saya tidak bisa begitu, jika menolak sesuatu saya harus mempunyai alasan yang kuat, karena saya terlalu takut untuk dicap egois. Beruntunglah kalau kamu tidak seperti itu, jadi untuk bisa sampai di tahap ini, kamu tidak perlu minimalism).

Dengan cara itu saya lebih mengetahui tentang diri saya sendiri, apa sebenarnya yang membuat saya senang, apa sebenarnya yang saya sukai, apakah saya memang benar-benar suka jalan-jalan ataukah saya hanya ingin terlihat sebagai gadis yang aktif dan petualang,. apakah saya memang tomboy, ataukah sebenarnya gadis penyuka bunga-bunga.. Metode ini membuat saya belajar untuk jujur pada diri sendiri, arahnya nanti adalah menyayangi diri sendiri, but not in a selfish way. Siapa lagi coba yang akan menyayangi diri kita kalau bukan kita sendiri.

I Found God.

Yep. The ultimate finding of all: God. Saya menemukan Allah ketika sedang sangat gamang dan bahkan teori minimalism dan the art of letting go tidak bisa cukup menghibur. Saya temukan dari satu video berdurasi 50 menit, yang menjabarkan dengan detil makna dalam ayat Al-Quran (kitab yang saya yakini) tentang entitas Allah.

Bagaimana kaitan temuan ini dengan minimalism?

Minimalism memberi saya ruang. Dengan ruang yang tidak dipenuhi sesak oleh barang-barang, saya menjadi orang yang leluasa berpikir, disiplin, dan rapih menata barang-barang. Minimalism juga berbicara tentang energi, mengeliminasi energi negatif dari benda-benda yang sedih karena tidak terpakai. Dari situ saya berpikir, benar bahwa benda pun memancarkan energi, dan energi itu diserap oleh reseptor energi manusia. Oleh karenanya, pasti ada yang mengatur pertukaran itu semua. Ditambah lagi, semua agama meyakini bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, jadi apakah Dia itu keberadaannya seperti energi, atau udara, atau apa..

Berangkat dari pemikiran itu, saya mulai menelusuri setiap link, video bahkan buku tentang ketuhanan. Sampai saya menemukan video Nouman Ali Khan, bahwa Allah is light upon light. Awalnya saya ragu untuk mengklik video itu, saat itu saya belum pernah sama sekali mendengar ceramah melalui video youtube atau manapun. Saat itu saya adalah orang yang sudah jauh sekali dari kajian keagamaan, yang mungkin bisa dibilang terakhir kali saya mendengar ceramah tuh ya waktu SMA (waktu masih di sekolah berasrama). Agak ragu saya mengklik video itu, tapi karena hati saya merasa bahwa video ini spark joy, jadilah saya klik.

Minimalism memberi saya ruang lebih untuk bisa berkomunikasi dengan diri saya sendiri, mungkin ini konteksnya adalah komunikasi antara hati dan pikiran dengan ruh saya. Saya berlatih untuk bertanya pada Sang Ruh, apakah pilihan ini benar atau tidak. Kebanyakan jika saya mengikutinya, pilihan itu akan menjadi pilihan terbaik yang saya pilih. Begitupun dengan mengklik video Nouman Ali Khan, yang sejak itu saya mulai rajin mendengar ceramah-ceramah lain dari youtube, dan hampir jarang sekali menyentuh iTunes (walau masih bayar langganan bulanan).

***

Walhasil semua temuan itu membawa saya pada diri saya yang baru, yang kalau kata sahabat saya "gak nyangka kamu bisa berubah kayak gini," atau teman yang lain "yaelah, salah makan lu? Dulu aja.. bla bla bla" begitu mendengar cara berpikir saya kali ini. Saya memang bukan orang yang religius-religius amat, sejak dulu pun begitu. Justru perjalanan spiritual saya, saya temukan melalui minimalism terlebih dahulu. Padahal apa yang saat ini saya sadari, tentang sabar, syukur, ikhlas, sebagai tiga dasar pelajaran yang harus dikuasai sebelum memutuskan untuk melarikan diri, telah saya pelajari sejak duduk di bangku TK. Tapi saya baru bisa benar-benar memaknai tiga prinsip dasar itu ya di 2018 ini, melalui minimalism.

Untuk itu, dalam rangka merayakan dua tahun perkenalan saya dengan minimalism di Januari nanti, saya akan mengikuti kelas menimba ilmu yang akan dibawa oleh Ka Bukhi sendiri. klik di sini untuk info

***

Semakin ke sini saya semakin mengerti, bahwa hal yang sederhana itu, justru sulit sekali. Seperti saya yang hanya menginginkan hal sesederhana punya teman bicara, yang bisa diajak bercerita atau tanpa kata, duduk diam mendiami malam, menengok lautan atau bintang. Justru yang sesederhana itu, yang kian membuat saya bertanya-tanya sendiri. Cinta sejati di antara sesama manusia itu, apakah nyata atau tidak?

***
Bogor, 27 Desember 2018
Sehari setelah mendarat dari Gorontalo, dan sebelum berangkat ke Surabaya




Comments

Popular posts from this blog

Something to Look Forward to

Inside the Mind of a Woman

144 Hours without Instagram