Salah satu yang membuat saya kagum sama Taylor Swift adalah kemampuannya mengkomunikasikan simpulan dari pelajaran yang dia ambil, ke dalam simbol-simbol di setiap adegan video klipnya. Di video klip berjudul 'Cardigan', Taylor Swift menanggalkan cardigan yang dia pakai, masuk ke dalam piano, terserang badai, tenggelam, dan bertarung dengan dirinya sendiri, lalu mendapati jalan keluar, dan kembali mengenakan cardigan yang sama. Saya membaca easter-eggs dari adegan tersebut di salah satu akun gosip, yang terjemahannya kurang lebih yaitu; proses pencarian jati dirinya Swift yang sempat menjadi orang lain, bertarung dan tenggelam, dan bertubi-tubi kepahitan lain untuk kemudian dia kembali menjadi orang yang baru, tapi bukan benar-benar baru melainkan orang yang sejak dulu dia memang sudah begitu tapi hanya baru sadar saja. Kesadaran itu ditandai dengan cardigan lama yang dia kenakan kembali, menandakan bahwa dirinya selama ini ya memang begini, namun untuk menyadari hal tersebut, dia harus menjadi orang lain, dan ditempa oleh semua kepahitan tadi.
Jika kamu adalah orang yang sudah terlalu lama tinggal dan hidup sendirian, kamu pasti akan memperhatikan banyak sekali hal detil di sekelilingmu. Observasi mu akan lebih mendalam ketimbang orang kebanyakan, dan karenanya, kamu akan makin susah punya teman. Iya kan? Ya, kalau begitu kita sama.
Sore tadi saya menyempatkan diri untuk berjalan kaki, membeli nanas madu di toko buah dekat rumah. Besok jadwal juicing, tapi hari ini saya menolak pergi ke pasar. Sejak Jumat saya sudah membeli buah dan sayur melalui aplikasi online, dan benar saja, hujan turun dari pukul dua belas malam hingga sembilan pagi. Sabtu mendung begini, siapa sih yang sudi keluar rumah. Saya pun baru bisa keluar rumah setelah sempat tertidur sebentar satu jam setelah makan siang, dan baru benar-benar keluar setelah sholat ashar.
Sepanjang jalan, saya banyak membatin. Betapa sebentar lagi jalanan kecil ini di jam-jam begini akan banyak pedagang-pedagang makanan. Menjajakan makanan khas berbuka, dan jalanan akan ramai bukan main. Ingatan saya melayang jauh ke Bulan Ramadan tahun lalu, well.. sepertinya tidak adil jika di tulisan sebelumnya saya bilang saya menjalaninya sendirian, karena sebetulnya ada tetangga dan adiknya yang menemani. Bersama adik tetanggalah saya sering jalan sore, setelah berbulan-bulan diam di rumah sama sekali tidak menginjakkan kaki di luar pagar sama sekali. Menikmati ramainya orang-orang yang mencari jajan, seolah pandemi hanya agenda politik semata.
Saya memilih jalan memutar, arah pergi dan pulang yang berbeda. Sengaja, supaya jauh jalannya. Ingatan saya mundur makin jauh juga jadinya, ke tiga tahun lalu, saat pertama kali menjalani Ramadan di rumah ini. Saya masih ingat rasa takutnya, tapi tidak lama ada mama dan adik-adik yang datang menyusul. Kita sahur dan berbuka dengan segala peralatan seadanya. Menjelang lebaran barulah papa juga ikut menyusul, dan ramailah sudah rumah ini. Saya masih ingat waktu itu masih punya motor, jadi untuk beli makanan apapun tidak sulit. Kemudian beberapa hari sebelum lebaran, mobil sewaan sudah diantar ke rumah, dan kami mudik sekeluarga. Perjalanan mudik yang secara impulsive saya teruskan jadi roadtrip ke Jogja, dengan saya sebagai supir tunggal. Tanpa sedikitpun membiarkan papa menyentuh setir, hanya demi sebuah pengakuan: oke, nak. you can drive. Haha. Ya tapi dasar love language nya beda, kalimat itu tentu tidak terucap. Hanya digantikan oleh setahun setelahnya, berlebaran di Merauke dan papa membolehkan saya nyetir di jalanan trans-Papua yang kecil, lurus, menegangkan tapi juga sangat mengasyikkan.
Di situlah baru saya sadar, bahwa perjalanan seseorang menemukan dirinya sendiri, kadang memang harus melewati a detour, alias jalan memutar. Mungkin memang harus menjadi orang lain dulu untuk kenal siapa sebenarnya diri ini, dan apa sebenarnya yang kita inginkan. Selama ini saya selalu menyangka diri saya seorang extrovert sejati, sampai pandemi terjadi dan saya benar-benar menikmati terisolir dan menyendiri tanpa harus merasa bersalah. Ternyata.. selama ini saya menjadi extrovert, adalah demi menutupi kehampaan dan kesepian sebagai anak remaja yang harus pisah dari orang tua. Saya tidak bisa sendirian, karena jika sendirian, saya akan teringat dan rindu pada mereka. Saya harus selalu dikelilingi oleh orang, agar tidak ada ruang untuk merindu apalagi menangis.
Akibatnya, saya menutupi jati diri yang sebenarnya itu, sampai tidak kenal lagi sama diri sendiri. Padahal sejak SMP pun saya lebih banyak menyendiri di kamar, baca buku, bikin kliping, merajut, dan.. menulis. Sangkaan sebagai ekstrovert itu terus terbawa hingga kuliah. Pun saya memang orang yang senang tampil, tapi seringnya jadi dibuat-buat karena sejatinya saya sangat sangat pemalu. Ternyata, baru saya tahu sekarang.. betapa lelah hidup seperti itu, tapi ya memang harus begitu. Harus mengambil jalur memutar itu dulu, untuk tahu bahwa sebetulnya.. I hate the crowd, dan lebih suka berada di balik layar.
Sebagian orang mungkin sangat beruntung sudah bisa jujur pada dirinya sejak kecil. Tidak perlu menjadi orang lain, karena memang tidak perlu ada yang ditutupi. Peran orangtuanya sangat lekat terhadap perkembangan karakternya, sehingga.. dalam usia muda dia sudah bisa memilih perannya dalam hidup ini sebagai manusia.
Saya harap kita pun demikian. Bagi jiwa-jiwa yang pernah menghabiskan waktu sendirian, cukup beruntung untuk bisa menemukan dirinya sebelum ada jiwa lain yang bergantung padanya.. bisa mengawal keturunannya untuk menjadi seseorang yang memiliki nilai dan makna sejak dini. Tidak sibuk bersembunyi, menutupi kekurangan dan insecurity.
Sejak dulu saya sangat takut jika harus menjadi orang tua. Saya mengambil kelas bertemakan parenting dalam pemilihan jurusan minor di kampus, dan banyak mengikuti seminar tentang tumbuh kembang anak, semata-mata hanya untuk memantaskan diri karena anak-anak saya nanti tidak bisa memilih akan lahir dari ibu yang seperti apa. Tapi sekarang saya paham.. you can't be a mother without knowing who you are. Tidak ada metode parenting terbaik, karena ujung-ujungnya di setiap pemaparan materi selalu ada embel-embel 'ya tapi balik lagi ke ibunya/anaknya'. Tidak ada ibu yang sempurna, tidak ada role model ibu yang sempurna, tapi kita bisa jadi yang terbaik dengan menemukan diri sendiri, tahu apa yang kita mau saat tekanan menghadang, tahu bagaimana cara mengatasi diri sendiri saat badan sedang tidak berkompromi, dan yang terpenting adalah tahu bagaimana mengkomunikasikannya pada orang lain, agar tidak hanya terus menerus menuntut untuk di mengerti.
***
Bogor, 3 April 2021
Saya lahir di Bulan Ramadan, sehari setelah tanggal turunnya Al-Quran. Saya belum tahu, peran apa yang sebetulnya dimaksudkan untuk saya di Bumi ini, tugas yang harus saya emban dan tunaikan sebelum 'pulang' nanti. Saya yakin pasti ada sesuatu yang harus saya lakukan di sini, dan itulah yang harus dicari, ditemukan, supaya bisa mati dalam keadaan terbaik. Bukankah indikator kesuksesan seseorang ada pada akhir hayatnya? Yang jujur, tanpa ada rekayasa. Ya.. kita semua harus cari tugas apa yang kita emban, karena setiap manusia punya tugasnya masing-masing dan hanya boleh pulang kalau tugasnya sudah selesai.
Comments
Post a comment