Ada orang yang berpikir menggunakan hati, dan ada juga yang berpikir menggunakan logika, ternyata keduanya itu tidak ada hubungannya dengan gender.
Saya pernah menjadi orang yang amat sensitif terhadap cara komunikasi orang lain kepada saya. Saya pernah marah pada yang membalas chat hanya dengan satu huruf, yang menagih uang danus tanpa basa-basi, dan pernah juga saya merasa tersinggung hanya karena tidak dilibatkan dalam satu proses pengambilan keputusan yang saya juga bukan siapa-siapa di dalamnya, hanya anggota biasa yang kebetulan sangat vokal dalam menyuarakan pendapat yang berasal dari otak kosong.
Beruntungnya kesalahan itu pernah saya lewati dengan status mahasiswa, di dalam organisasi yang penuh nuansa kekeluargaan. Jadi mau berantem, marah, sakit hati, sampai nangis sekalipun tidak masalah. Toh hanya soal waktu nanti juga lupa.
Berbeda jika kesalahan itu saya buat sekarang, di dunia kerja. Ketika yang dihadapi oleh orang dewasa yang lebih rapuh jiwanya. Karna lisan yang emosi akan sulit dijaga, sehingga mudah mengeluarkan kalimat menyayat sampai ngilu. Tapi, orang dewasa tidak akan menyuarakan perasaannya. Orang dewasa yang paham pentingnya menjaga keseimbangan ritme kelompok, akan mencerna nya dalam diam dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Hanya dia dan Tuhannya yang tahu luka hati yang dia simpan, yang nanti akan timbul dalam perilaku pemutusan hubungan secara sepihak, dari dalam hati.
Ya, berbeda dengan anak mahasiswa yang masih berjiwa bebas, yang jika sakit hati mereka akan menyuarakan dengan lugas, orang dewasa akan diam sambil mengatur strategi. Sakit hatinya tidak ditunjukkan, tapi dijadikan amunisi.
Tapi lebih bahaya lagi kalau si yang sakit hati ini sampai menangis, dan satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah mengadu pada Tuhannya, mengadukan sambil menangis tanpa berkata apa-apa lagi selain.. Ya Allah, help.. it stings.
***
Saya sudah memprediksi pola seperti ini akan terjadi. Pola ini berulang kali setiap tahun, dan selalu bersumber dari orang yang sama. Tahun ini, Alhamdulillah baru terjadi sekarang, dan saya masih bisa mengendalikan diri merespon sebisa mungkin dengan tanpa terpancing ikut-ikutan menimpali. Hanya menyuarakan sesuatu yang menurut saya benar, meskipun setelah itu dibantah, saya terima sambil meminta maaf untuk bagian yang salah yang saya lakukan.
Karena dalam melihat permasalahan seperti ini, ini hanya tentang siapa dan bagaimana kesalahpahaman itu dikomunikasikan. Intinya jika orang itu sudah tidak suka, apapun yang dia lakukan, pasti akan salah. Makanya sekarang saya berpikir.. saya lah sumber penyebabnya.
Rasa tidak suka yang ada pada personal seseorang, kemudian berdampak pada hal-hal lain dengan ragam cover itulah yang kerap menjadi pemantik permasalahan.
Sepertinya sekarang tinggal urusan siapa yang bisa bertahan dengan kepala lebih dingin. Bagi saya, ini proses pembelajaran super instan. Belajar nanti kalau mendampingi suami yg jadi pemimpin, dia dituduh semena-mena, respon saya harus bagaimana. Dan tentu bukan dengan langsung membantah bilang 'semena-mena? Maksudnya gimana ya..' bla bla bla, padahal bukan ditujukan ke saya. Haha.
Dan saya bangga dengan diri saya sendiri melihat kekisruhan tadi pagi. Hanya menangis sebentar, pun satu-satunya yang saya pikirkan hanya Allah, tidak lagi kepikiran mau nelpon siapa, tapi hanya Allah dan pada hal-hal yang saya lakukan beberapa minggu ke belakang. Saya sedang cukup berjarak dengan-Nya sih. Sad.
Setelah menangis sebentar itu, saya ke depan rumah, menyambut matahari cerah benderang, panen pupuk cair, dan tidak lama kemudian tetangga pulang. Saat dia tiba-tiba berceletuk 'matahari sedang cerah' dengan nada riang, saya ikut menimpali, kami tertawa, dan saya mampir ke rumahnya menengok ikan-ikan yang sudah lama tidak jumpa. Baru bangun, baru nangis, belum cuci muka, sudah duduk nongkrong depan akuarium persis seperti hari-hari itu.. saat Parti ku baru pergi :')
Alasanku tidak mau liat ikan-ikan itu lagi ya sederhana sih. They remind me of you, Parti.. waktu kabar tentang kepergian Yayuk menyebar, saya bersembunyi di rumah tetangga. Hanya pulang setelah ngantuk, dan bangun tidur dengan kepala seperti digantungi barbel. Keluar lagi ke rumah tetangga, liat ikan, dan barbel itu hilang.
Ikan-ikan itu membantu menyurutkan sedih saya di Bulan Ramadan, setelah dia pergi. Tapi jadinya, tiap kali ke sana lagi, gambar wajah Yayuk lah yang terbayang di benak saya. :"
Gak nyambung ya..
Dari gelut urusan kerjaan jadi curhat baper merindukan teman.
***
Masalah tidak akan selesai. Kita tidak bisa berharap akan adanya sebuah problem-free life. Tinggal gimana melihatnya saja. Kalau masalahnya memang di sistem, sistemnya diperbaiki. Kalau masalahnya ada di ego, tinggal kita nya memperbesar kapasitas hati, menyediakan ruang untuk bisa memberi tempat pada dia yang membutuhkan space lebih banyak. Hanya harus pintar memilih, mana yang patut diberi ruang dalam pikiran dan mana yang langsung dibuang saja masukin ke composter.
***
Bogor, 19 Desember 2020
Mata masih bengkak, mau baca buku juga susah. But coffee helps, apalagi kopinya baru nyampe kemaren.
Kata bapak-bapak blok sebelah, blok kami ini yang paling produktif. Dalam lima belas menit ada motor nganter paket masuk. Mostly punya ku dan tetangga. Karna kami anak milennial! Hidup milennial! HAHA!
But we both are the kind of milennial yang get along really well with bapak-bapak.
"Ganti atuh mbak terminalnya, kalau udah sampe ada cahaya gitu bahaya"
"Iya udah saya ganti Pak terminal kuningannya. Jadi terminal Cirebon"
Haduh..
Comments
Post a comment