Kesepian punya banyak wajah, dan salah satu yang bisa menjadi obatnya adalah ketika kita menemukan pasangan yang selaras dan se frekuensi. Sayangnya, tidak semua orang seberuntung itu bisa dipersatukan dengan orang yang dia anggap sebagai belahan jiwa. Ada yang baru bertemu saat usia mereka empat puluhan, ada yang bertemu saat muda namun tidak berani mengakui, lalu cinta itu bersemi kembali membawa badai di rumah tangga masing-masing.
Saya tahu urusan cinta itu kompleks, dan sebagai orang yang anti ribet, saya lebih suka berada di luar arena, mengamati dari jauh. Sambil berpikir.. what do I want?
Tentu saya juga tidak mau terus-terusan sendirian, more or less, saya ingin punya anak supaya bisa menurunkan wisdom and knowledge yang Allah sudah titipkan. Takut keburu lupa. Juga sebagai bekal untuk di perjalanan selanjutnya, yang sampai ribuan tahun itu. Tapi saya kan bukan Maryam, yang sebegitu mulia bisa mengandung tanpa disentuh laki-laki. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya saya harus bertemu seseorang, and adjusting to make it work.
But anyway..
Saya banyak mengamati orang-orang yang sudah menikah belasan hingga puluhan tahun, dan bagaimana akhirnya mereka menjalani kehidupan bersama. Sudah bisa dijamin bahwa cinta tidak akan hadir selamanya, itu jelas. Tapi bukan berarti tidak bisa dilatih juga. Ada buku yang saya baca minggu lalu, tentang willpower, rediscovering human strength, tentang kemampuan manusia dalam mengendalikan dirinya yang ternyata bisa dilatih. So do love, I suppose.
Meskipun semestinya bagi manusia, cinta dari Sang Maha Kuasa saja harusnya sudah cukup. Dia yang menjaga kita siang dan malam, memastikan tidak ada hal buruk menimpa, kalaupun ada maka itu karena akan diganti dengan yang jauh lebih baik, menjaga dan merawat kita twenty four seven. Ya, seharusnya, jika dipikir hanya dari sisi relijius saja, maka orang yang mendamba cinta manusia itu tidak bersyukur. Sudah punya cinta dari The Higher Power kok ya masih saja menginginkan cinta dari budak.
Tapi rupanya bukan begitu cara Allah bekerja.
Dia tidak akan merasa tersaingi bahkan setelah hati kita terisi.
Makanya saya baru sadar satu hal hari ini; kenapa setiap kali solat saya selalu meminta untuk dipertemukan dengan seseorang yang memang datang karena-Nya? Hati saya terfokus pada satu ruang kosong yang ingin segera dihuni. Selalu hanya itu yang dipinta.
Kenapa bukan mempersiapkan diri sebaliknya.,
Meminta agar difokuskan hati dan pikiran ini, hanya agar bisa tercukupi dengan Dia saja. Jadi, kapanpun nanti Allah utus dia untuk datang, hati dan pikiran tetap tidak goyah dan tidak terlampau bahagia sampai meninggalkan Allah.
Dengan begitu sebetulnya jadi lebih enteng pikiran ini. Karena memperbaiki koneksi dengan Allah ternyata tidak cukup dengan terus-terusan solat dan ngaji. Hati juga harus ikut terus-terusan berharapnya hanya pada Allah, bukan berharap Allah kasih seseorang yang nantinya dengan dia kita bisa dilindungi, dijaga, dan lain-lain. Bukan.
Biar bagaimanapun perempuan akan menjadi tiang di dalam rumah tangga. Namanya tiang, ya harus kokoh dan punya pegangan yang kuat. Kalau pegangannya ke suami, kacau balaulah. Mood laki-laki yang tidak terprediksi, belum lagi kalau dia lagi lapar emosinya meluap-luap, apalagi kalo yang ketempaan dapat laki-laki seneng tepe.. duh kalau yang begitu jadi pegangan, bisa nangis tiap hari kita, bund.
Selama ini pun kita berdoa meminta ke Allah biar dikasih apa yang kita mau, kan.. coba kalau diganti, mintanya, biar dikasih ketetapan hati ketika nanti doanya terkabul. Doa terkabul saja hatinya tetap teguh memegang Allah apalagi kalau tidak terkabul, kan makin kenceng.
***
All we need is the one love to keep us on the right path. Not to distract us and drag us further away. Because this is what this life is about; to stay on the right path. The path is the goal.
Saat saya belum memutuskan what kind of love life do I wanna have, gambar ini melintas di instagram, yang saya amini (untuk saat ini).
Comments
Post a comment