Sore tadi saya sempat mendapati hujan angin dari rumah. Angin yang datangnya dari arah Timur (or so), yang membawa air hujan mengguyur sampai ke teras. Biasanya hujan turun secara vertikal, tapi sore tadi dia turun secara diagonal melalui area terbuka teras saya yang tidak dihalangi kanopi. Semisal dia datang dari arah Barat, teras saya pasti tidak akan basah kuyup.
Setiap kali hujan, saya memang selalu menyempatkan diri duduk di teras. Sekedar menatap langit abu-abu, atau rumput yang tergenang, atau percik air di tembok replika konstantinopel saya. Sore ini, demi melihat air hujan yang mengguyur sampai ke teras, kursi dan lantai teras basah kuyup, tanpa berpikir panjang saya langsung mengambil jas hujan dan memakainya untuk duduk di kursi depan.
Angin dingin berhembus kencang, bahkan batu taman pun sampai terbang terbawa ke teras. Saya sempat beberapa kali diguyur limpasan air hujan, yang saya syukuri dengan nikmat. Bukan apa-apa, ini untuk sekedar mengingatkan saya, bahwa dulu.. di kehidupan yang sebelumnya dulu sekali, pernah ada masa di mana saya harus bergumul dengan hujan seperti ini nyaris setiap akhir pekan. Dinginnya masih sama, dan menyapa dingin sore tadi ketimbang menghangatkan diri di kamar sambil menyeruput teh tarik panas, membuat saya kembali teringat apa yang saya damba di saat itu.
Dulu, hujan seperti ini mengguyur saya di tengah belantara. Susah payah melangkahkan kaki meneruskan perjalanan walau tubuh sudah menggigil gemetaran. Berhenti bukan pilihan, karena berdiam diri di ketinggian seperti itu dengan angin kencang justru jauh lebih berbahaya ketimbang terus berjalan. Pertama, seseorang yang kedinginan dan tidak bergerak, tubuhnya akan berhenti memproduksi kalor dan membuatnya rentan terserang hipotermia. Kedua, angin sekencang itu di tengah belantara hutan yang penuh dengan pepohonan ragam usia, tidak menutup kemungkinan satu di antaranya memutuskan rebah dan menimpa apa saja yang ada di bawahnya. Jadi di bawah deras hujan seperti itu, selalu kami paksakan melangkah walau beratnya bukan main. Yang berat sebetulnya melawan angan dalam pikiran. Mengingat betapa nikmat secangkir coklat panas, dari balik selimut sambil menonton film bajakan dari laptop. Mengingat betapa hangat dan nikmat kasur di kamar kos. Lantas biasanya, kalau sudah begitu saya akan berangan. Jika nanti tiba saatnya saya berhenti melakukan hal ini, berdiam diri di rumah setiap kali hujan badai menerjang, saya akan menyeduh minuman-minuman panas, membuat cemilan-cemilan manis, dan bersantai dengan tenang.
Rupanya, apa-apa yang selalu diidamkan itu ketika menjadi kenyataan seringkali justru terlupa. Ketika sudah punya rumah, sudah punya alat masak dan cadangan makanan berlimpah, saat hujan turun dengan derasnya, lupa bahwa inilah angan yang pernah didamba. Kenapa? Karena sibuk berangan hal lain yang lebih tinggi lagi. Yang lebih kompleks lagi.
Makanya sore tadi saya berdiam sejenak. Menikmati terpaan air hujan, tapi saya aman terlindung di balik jaket jas hujan, walau celana yang agak gak aman tapi toh begitu masuk ke rumah bisa langsung ganti semua pakaian. Saya baru masuk ke dalam ketika guntur ketiga menggelegar demikian kerasnya disambut dengan cahaya kilat yang benar-benar menyilaukan mata. Persis seperti kilat yang dipakai Thor untuk membunuh Hela walau agak gak mempan.
Blog ini betul-betul harus ganti nama. Sudah bukan minimalism lagi yang saya bagi di sini tapi dear diary kinda thing..
Intinya yang ingin saya bagi adalah, angan apapun yang sekarang sedang ada di kepala, suatu saat nanti pasti terwujud. Sayangnya, saat itu terwujud, barangkali kita sudah lupa seberapa besar keinginan kita saat kenyataan itu masih dalam damba. Ada baiknya sesekali mengunjungi kembali suasana atau situasi tempat dulu kita masih belum memiliki apa yang kita miliki sekarang. Hitung-hitung evaluasi, sudah sejauh ini melangkah, bekal untuk nanti di bawah tanah sudah seberapa banyak.
***
Bogor, 26 September 2020
Aku suka hujan.
Comments
Post a comment