People don’t usually share their financial issue, right? Not to colleagues, not to friends, families, BESTFRIEND, not even to the parents. Or maybe some people just lucky enough to have other human beings other than their spouse to share it with, but most people.. including me, don’t have one.
Saya bahkan tidak mengikuti topik-topik pengelolaan keuangan seperti yang ramai di media sosial. Bukannya apa, mereka itu pakai metode fear marketing yang bikin overthinker macam saya makin rawan depresi. Saya lebih banyak belajar mengatur keuangan dari sahabat atau teman yang memang concern soal itu, dan following jouska. Rasanya lebih bisa aja hati saya menerima celotehan dan saran dari mereka ketimbang dari tulisan berderet-deret yang saya baca tapi pikiran saya kemana-mana.
Akhir-akhir ini saya merasa orang-orang jadi semakin pendiam. Banyak yang kemudian menarik diri lalu menghilang. Interaksi di media sosial tidak seramai biasanya, dan kelas-kelas online bersertifikat semakin laku keras. Kapan hari itu saya ikut kelas yang pesertanya membludak, tapi isi materinya gitu-doang. Se-gitu-doang itu sampai saya kesal sendiri ngikutinnya. Walau tetap saya ikuti sampai habis karna menghargai penyelenggara dan sekaligus juga penasaran mana tau ada ‘gong’ yang berbunyi di akhir.
Mungkin.. selain jenuh, sekarang sebagian dari mereka itu juga sedang mengalami masalah yang besar sekali. Apalagi periode ini kan sangat menjadi beban.. anak sekolah dari rumah, suami atau istri kerja dari rumah, semua orang rumah yang biasanya cuma ketemu pagi dan malam sekarang dua puluh empat jam harus bersama..
Emosi jadi mudah sekali meledak. Online meeting yang terlihat mudah dan bahagia itu, ternyata lebih mendatangkan banyak hipertensi. Entah itu dari sinyal yang amburadul, anggota rumah yang tidak mengerti dengan kebiasaan baru berbicara dengan laptop berjam-jam dan maunya harus selalu diperhatikan atau meminta tolong ini itu dan harus dikerjakan.. belum lagi kalau punya anak, menangis tidak mau mengerti karna yang dia tahu ibunya atau ayahnya ada di rumah..
Tekanan semacam itu tentu jika dibumbui dengan urusan finansial.. akan semakin berat burden nya. Apalagi urusan finansial tidak bisa sembarang share. Bahkan ke ibu sendiri pun kalau mengeluh tidak punya uang, pasti kita sebagai anak tidak akan tega dengan responnya. Beberapa- atau bisa dibilang kebanyakan- akan lebih memilih untuk menyimpan rapat-rapat dan mengadukannya pada pukul tiga pagi.
Saya rasa sangat penting bagi kita saat ini untuk mengasah kemampuan empati dengan lebih dalam lagi.
Kamu punya deadline yang dikerjakan berbarengan dengan coworker, tapi coworker ini lambat atau kurang responsif. Atas nama bisnis kamu kontak dia, bombardir dengan pertanyaan dan permintaan, pukul sembilan malam di Hari Sabtu.
Kamu salah? Tidak juga. Mungkin kamu yang benar dan coworker mu yang salah. Suruh siapa dia tidak selesaikan deadlinenya pada Hari Jumat sesuai janji.
Tapi apa dia salah?
Belum tentu.
Karna kamu tidak pernah dan tidak perlu tahu masalah apa yang dia hadapi. Beban apa yang sedang dia adukan pada Tuhannya agar cepat diselesaikan. Caramu menanyainya, caramu berbicara padanya, sangat mencerminkan level respect mu ke dia.
Mungkin dia merasa kamu tidak menghargainya. Mungkin dia tidak suka dengan caramu sehingga memilih diam, dan bahkan cenderung abai.
Salah jika seseorang itu mangkir dari janjinya. Tapi cara menegur yang menyakitkan hati, tanpa tahu alasan dibalik itu, juga tidak bisa dibenarkan.
Ketika dunia sudah sangat peduli pada urusan mental health, jangan sampai kita jadi orang yang lupa bertanya sekadar ‘apa kabar’ walaupun jawabannya kadang tak didengar.
Ketika semua orang sibuk dengan keakuannya, jangan sampai kita jadi orang yang terlalu ikut meninggikan si aku, sampai lupa mendengar si dia.
Dulu waktu SMA, guru Bahasa Indonesia saya pernah membacakan puisi tentang Si Aku. Waktu itu saya tidak mengerti dengan isi puisinya. Baru sekarang ini saya paham, kenapa Si Aku ini nyaring sekali.
Mental health is a real thing.
Kita tidak perlu orang bercerita tentang mental health nya dulu baru mengerti. Syukur kalau ada yang mau cerita, tapi kalau tidak, cobalah untuk memahami keadaan orang lain meski dia tidak minta. Hanya dengan begitu kita akan mengamalkan sila ke-dua: kemanusiaan yang adil dan beradab.
***
Bogor, 2 Juni 2020
Hari pertama ber’kantor’ di Bulan Juni. Dibuka dan ditutup dengan hujan seharian.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan Bulan Juni,
Dirahasiakannya rintik rindunya, kepada pohon berbunga itu. -Sapardi Djoko Damono-
Comments
Post a comment