Tapi dari tulisan ini saya tidak mau menyalahkan pihak manapun. Tidak pada semangkok kolak yang saya tenggak dengan nikmat, apalagi pada Ibu penjual yang menjajakan dagangannya dengan sepeda setiap hari tanpa kenal libur maupun cuaca. Karena saya membeli kolak itu dengan sadar dan tanpa paksaan (sudah memenuhi kaidah Free Prior and Informed Consent) :D
Mungkin karena kolak itu, atau mungkin karena sempat runtuh pertahanan rasa rindu akan suasana 'rumah', hari ini saya kembali mengecap manisnya sakit yang sudah nyaris sebulan tak jumpa. Sejak pagi hingga sore menjelang saya berjibaku dengan rasa sakit yang sebetulnya familiar tapi tak juga terbiasa. Hingga akhirnya saya menyerah, mengeluarkan semua isi di dalam perut dengan berat, dan membatalkan puasa. Siang yang panas tapi saya menggigil di bawah selimut. Sore yang mendung saya meringkuk dan tertidur sebentar. Sebelum akhirnya memesan makanan lewat ojek online, dan makan di depan ikan-ikan yang berenang tak bisa diam.
Bukan ingin menyalahkan, tapi kolak yang saya makan kemarin lah yang kemungkinan berperan besar terhadap tumbangnya saya hari inipadahal sebenarnya rangkaian jadwal yang padat seminggu kemarin. Saya lupa, benar-benar lupa, kalau kolak itu mengandung santan, dan santan bukan teman baik bagi orang yang sensitif dengan asam lambung.
Saya sudah merasa aman. Saking sudah lamanya tidak kumat, saya pikir saya sudah terbebas dari penyakit itu. Bisa makan apa saja dan menjadi lengah.
Ternyata saya salah.
Memang lengah adalah momok paling bahaya dalam menghadapi penyakit. Menyangka sudah aman, padahal dia masih mengintai.
Makanya saya gemas sekali dengan orang-orang yang menyangka sudah bebas dari pandemi. Seenaknya keluar rumah, berkerumun tanpa tahu malu. Abai terhadap orang-orang yang sudah rela-rela kehilangan pekerjaan demi menjaga jarak dan membatasi interaksi.
Pandemi terasa tidak nyata jika kita jarang mendengar berita.
Memang sih, saya termasuk penggemar teori konspirasi. Semacam Atlantis dan jejerannya itu saya lumayan ikutin diskusinya, dan saya suka saja dengan pemikiran-pemikiran yang dibagi walau tak sepenuhnya percaya. Atau teori konspirasi Economic Hitman nya John Perkins, yang begitu-begitu masih masuk di nalar saya. Tapi teori konspirasi vokalis SID tentang virus pandemi?
Oh Tuhan.. cobaan apa lagi ini.
Sedikit banyak saya sempat termakan kemungkinan kebenaran teori itu ketika dilontarkan oleh Pak Iskandar pemilik Bumi Langit Institute di obrolan kami tempo hari. Yang buru-buru saya batasi pikiran saya. Saya belum ingin ikut berpikir bahwa virus ini hanya tipu daya belaka just because tidak ada orang yang saya kenal langsung yang menjadi ODP.
Meski pandemi ini sungguh sangat menyiksa. Tekanan batin, menahan rindu, menahan perasaan, menahan segala bentuk godaan duniawi bersamaan dengan tutupnya mall-mall.
Tapi kita tidak boleh lengah. Tidak boleh ikut-ikutan bodoh serupa orang yang tidak mampu menahan dirinya. Kita harus berada di atas emosi kita, mengendalikan perasaan layaknya orang bijak yang punya harga diri.
Hari ini saya belajar, meskipun berbulan kita hidup sehat dan bahagia, hanya dengan satu kali lengah bisa hancur pertahanan yang susah payah dibangun. Semua jadwal berantakan, janji tak tertunaikan, dan banyak hal penting lain yang jadinya terbengkalai.
Perhatikan piringmu, begitu firman-Nya dalam Al-Quran. Perhatikan makananmu, perhatikan sekelilingmu. Dari mana dia datang, dengan apa dia dibuat. (Surah Abasa). Sabar sedikit kenapa sih. Nanti di surga kita makan semuanya.
***
Bogor, 17 Mei 2020
Seharian sakit, baru malam ingat punya janji sama Basa. Batal. Sedih.
Mungkin karena kolak itu, atau mungkin karena sempat runtuh pertahanan rasa rindu akan suasana 'rumah', hari ini saya kembali mengecap manisnya sakit yang sudah nyaris sebulan tak jumpa. Sejak pagi hingga sore menjelang saya berjibaku dengan rasa sakit yang sebetulnya familiar tapi tak juga terbiasa. Hingga akhirnya saya menyerah, mengeluarkan semua isi di dalam perut dengan berat, dan membatalkan puasa. Siang yang panas tapi saya menggigil di bawah selimut. Sore yang mendung saya meringkuk dan tertidur sebentar. Sebelum akhirnya memesan makanan lewat ojek online, dan makan di depan ikan-ikan yang berenang tak bisa diam.
Bukan ingin menyalahkan, tapi kolak yang saya makan kemarin lah yang kemungkinan berperan besar terhadap tumbangnya saya hari ini
Saya sudah merasa aman. Saking sudah lamanya tidak kumat, saya pikir saya sudah terbebas dari penyakit itu. Bisa makan apa saja dan menjadi lengah.
Ternyata saya salah.
Memang lengah adalah momok paling bahaya dalam menghadapi penyakit. Menyangka sudah aman, padahal dia masih mengintai.
Makanya saya gemas sekali dengan orang-orang yang menyangka sudah bebas dari pandemi. Seenaknya keluar rumah, berkerumun tanpa tahu malu. Abai terhadap orang-orang yang sudah rela-rela kehilangan pekerjaan demi menjaga jarak dan membatasi interaksi.
Pandemi terasa tidak nyata jika kita jarang mendengar berita.
Memang sih, saya termasuk penggemar teori konspirasi. Semacam Atlantis dan jejerannya itu saya lumayan ikutin diskusinya, dan saya suka saja dengan pemikiran-pemikiran yang dibagi walau tak sepenuhnya percaya. Atau teori konspirasi Economic Hitman nya John Perkins, yang begitu-begitu masih masuk di nalar saya. Tapi teori konspirasi vokalis SID tentang virus pandemi?
Oh Tuhan.. cobaan apa lagi ini.
Sedikit banyak saya sempat termakan kemungkinan kebenaran teori itu ketika dilontarkan oleh Pak Iskandar pemilik Bumi Langit Institute di obrolan kami tempo hari. Yang buru-buru saya batasi pikiran saya. Saya belum ingin ikut berpikir bahwa virus ini hanya tipu daya belaka just because tidak ada orang yang saya kenal langsung yang menjadi ODP.
Meski pandemi ini sungguh sangat menyiksa. Tekanan batin, menahan rindu, menahan perasaan, menahan segala bentuk godaan duniawi bersamaan dengan tutupnya mall-mall.
Tapi kita tidak boleh lengah. Tidak boleh ikut-ikutan bodoh serupa orang yang tidak mampu menahan dirinya. Kita harus berada di atas emosi kita, mengendalikan perasaan layaknya orang bijak yang punya harga diri.
Hari ini saya belajar, meskipun berbulan kita hidup sehat dan bahagia, hanya dengan satu kali lengah bisa hancur pertahanan yang susah payah dibangun. Semua jadwal berantakan, janji tak tertunaikan, dan banyak hal penting lain yang jadinya terbengkalai.
Perhatikan piringmu, begitu firman-Nya dalam Al-Quran. Perhatikan makananmu, perhatikan sekelilingmu. Dari mana dia datang, dengan apa dia dibuat. (Surah Abasa). Sabar sedikit kenapa sih. Nanti di surga kita makan semuanya.
***
Bogor, 17 Mei 2020
Seharian sakit, baru malam ingat punya janji sama Basa. Batal. Sedih.
Comments
Post a comment