Meski matahari menyengat dengan amat terik, Jenny tidak keberatan duduk di situ karena letaknya yang dipayungi oleh pohon rindang yang menyajikan belaian angin sepoi-sepoi. Dia menenggak minuman dingin yang dibelinya di pedagang asongan sebelum memasuki klenteng. Lagi-lagi bergulat dengan pikirannya, sembil memandang lurus Laksmana Cheng Ho seolah menuntut jawaban.
'Am I crazy' ujarnya bertanya pada diri sendiri 'I quit my job, I spend days in this town, waiting for him to text me first.. which I know that never gonna happen..'
Lamunan Jenny melambung jauh ke hari-hari yang dia habiskan dengan Aditya. Memang dia tidak pernah menjanjikan apapun pada Jenny, hubungan mereka benar-benar hanya sebatas hubungan kerja. Tapi Jenny ingin lebih dari itu, she's longing for him, karena baginya, Aditya adalah satu-satunya laki-laki yang tidak brengsek dan paling bisa diandalkan.
'He knows every weird things that I like, which not so many people understand, and so what He likes.. also are my favorite without I'm making it up..' pikirnya lagi kali ini mencoba menghitung-hitung kesamaan dan kecocokan antara dia dan Aditya. Jenny tahu dia hanya membuang-buang waktunya yang berharga. Dia sungguh ingin mengeluarkan Aditya dari pikirannya, berhenti memikirkannya, dan berhenti mengharap-harapkannya karena sungguh ini menyakitkan. Tapi bagaimana..
Setiap kali Jenny mencoba meminta pendapat dari orang lain, yang dia dapatkan hanya nasehat-nasehat untuk bersabar dan berdoa..
Hmm.. berdoa. Ya. Mungkin dia harus berdoa. Tapi pada siapa? Jenny menatap lekat patung Laksmana Cheng Ho, dia tahu patung itu bukan bagian dari yang dipuja oleh para pengunjung kuil. Tapi tetap saja ada nuansa magis yang terpancar dari lekuknya.
Jenny memejamkan mata, mencoba berkomunikasi dengan apapun yang bisa memberinya jawaban. Sedetik kemudian hatinya tergerak untuk melangkah masuk ke kuil. Mungkin di sana dia bisa mendapat jawaban. Mungkin di sana hatinya bisa lebih tenang, dan tahu bagaimana cara menyingkirkan suara-suara bising ini. Mungkin...
Tanpa berpikir panjang, Jenny beranjak dari bangku batu menuju ke dalam kuil. Langkahnya sempat terhenti sejenak di anak tangga pertama. Dia ragu, karena ini bukanlah kepercayaan yang dia anut. Bahkan dia sendiri pun tidak tahu kepercayaan mana yang harus dia anut. Tapi Jenny tetap melangkah, menaiki satu persatu anak tangga yang tidak banyak itu. Dia berhenti sebentar, melihat ke sekeliling, kalau-kalau ada orang yang berusaha mencegahnya. Seorang perempuan dengan wajah oriental melewati Jenny. Jenny mengikutinya dari belakang, berusaha tampak senatural mungkin. Diam-diam Jenny mengikuti gerakan perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang diikuti.
Lambat laun, hening hari itu melarutkan Jenny dalam sebuah percakapan. Percakapan yang terjadi di dalam kepalanya sendiri. Percakapan antara Jenny dan Sang Dewa Bumi.
'Bawa aku keluar dari sini, tolong..'
Jenny berada di lorong panjang yang gelap. Tidak ada cahaya, namun dia harus terus berjalan. Terdengar suara-suara yang memintanya untuk terus melangkah dan jangan pernah berhenti. Untuk sesaat, Jenny merasa sesak di dalam dadanya perlahan semakin nyata. Menjadi sesak fisik yang mengganggu jalan nafasnya. Jenny berusaha berteriak, namun tertahan oleh sesuatu yang entah apa. Jenny terus berjalan.
Jenny terus berjalan, hingga sebuah cahaya perlahan mulai terlihat. Cahaya itu seolah berjalan ke arahnya. Semakin cepat dan semakin cepat. Jenny panik. Ia ingin lari, tapi berbalik ke belakang sudah tidak mungkin karena lorong itu terlalu panjang dan Jenny tidak tahu ke mana ujungnya. Cahaya itu semakin mendekat, dan Jenny memilih untuk berdiri mematung. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan, berlari menyambut cahaya, atau diam dan membiarkannya melakukan apapun yang cahaya itu hendak lakukan..
***
Bogor, 29 Desember 2019
Before attending a wedding that supposedly I depart an hour ago.
Comments
Post a comment