Masih ingat setahun lalu, kali terakhir turun ke lapangan utk penilaian area bernilai konservasi tinggi dan kawan-kawannya, saya mengalami emotional pressure yang sangat dalam. Bagi orang yang tidak bisa bersikap biasa saja terhadap situasi penuh emosi, field assessment rasanya seperti neraka. Saya hanya bertahan kurang lebih tiga tahun sebelum memutuskan untuk berhenti selama setahun. Dan hari ini, kali pertama saya mulai turun lapangan lagi setelah setahun menata diri memperbaiki emosi.
Pagi tadi sekitar pukul tiga saya terbangun oleh pesan text di layar ponsel yang cukup membuat kening berkerut. Singkat cerita, teman sekamar memutuskan untuk pindah kamar dan karena saya sudah tidur saat dia kembali, jadi dia pergi dengan membawa seluruh barang-barangnya dan mengunci pintu dari luar. Demi keamanan saya tentu saja.
Ditinggal pergi seperti itu nampaknya biasa saja ya. Tapi lain cerita kalau pagi itu saya bangun dengan badan tidak karuan, efek kabut asap membuat tenggorokan dan hidung saya sakit, badan agak sedikit hangat, dan lemas di sekujur tubuh. Bahkan air mata yang saya teteskan saja rasanya hangat.
Menangis? Lebay ya. Iya saya menitikkan air mata sedikit begitu tahu teman sekamar saya memutuskan untuk pindah kamar. Apakah dia harus segitu fokusnya dalam mengerjakan tugasnya sehingga benar-benar harus menyendiri? Apakah saya segitu cerewetnya hingga dia merasa saya adalah distraksi? Apa kesalahan yang saya lakukan? Segala asumsi tentang kesalahan yang mungkin saya lakukan perlahan menghantui. Negatif sekali pikiran saya sampai akhirnya saya memutuskan tuk solat malam.
Di dalam dua rakaat itu saya meminta pada-Nya agar memberi kelapangan hati. Memberi kelembutan hati, agar tidak mudah termakan emosi oleh hal-hal sepele. Saya adukan kejadian dan rasa sakit hati saya, saya ceritakan semua, saya ceritakan juga kekonyolan pikiran saya tentang asumsi negatif yang ingin saya enyahkan, lantas terakhir saya minta agar dilindungi dari emosi-emosi yang merugikan diri sendiri.
Setelah itu saya kembali tidur, sambil mendengarkan ceramah tentang mengatasi hati yang tersakiti.
Hanya dalam waktu dua jam Allah sudah mengabulkan doa saya. Saya bangun dengan hati yang ringan, sama sekali hilang rasa keberatan karena ditinggal pergi tadi. Hilang tanpa sisa. Benar-benar hilang.
Pikiran saya mulai menghadirkan kemungkinan lain tentang kepindahan teman saya, dan itu semua adalah asumsi positif yang sangat bisa dimaklumi.
***
Inilah makanya kenapa saya belum berani menerima jabatan tinggi yang pernah datang melamar. Karena saya masih sulit mengimbangi urusan hati, agar bisa bersikap biasa saja. Pun saya belum punya pasangan yang bisa menjadi teman diskusi. Enaknya sih punya pasangan dulu baru melesat lebih tinggi. Biar ada pegangan dan sandaran yang bisa menjadi rem ketika kita nge gas. Walau tentunya selalu ada Allah dan akan selalu bersandar pada-Nya. Tapi tidak bisa dinafikkan bahwa kita manusia juga butuh manusia lain, walau kita tahu kita selalu punya Allah.
***
Rimbo Bujang, 17 okt 2019
Jadi makin yakin kalau cuma Allah yang bisa meneguhkan hati seseorang di luar sana, terpaut hanya untukku, karena-Nya. Vice versa
Comments
Post a comment