Aku sudah mati. Aku tahu aku sudah mati, karena aku bisa melihat tubuhku sendiri. Terbujur kaku di sana, diratapi oleh.. tunggu.. di mana Anita? Maria? Jason? Mana mereka? Kenapa malah hanya ada Diana? Kenapa malah si Andi yang ada di situ? Di mana sahabat-sahabatku?
‘Hei’ seseorang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh. Tania! Aku ingin berteriak tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Tania, sahabat kecil ku yang meninggal saat kami baru berusia lima tahun. Aku memeluknya erat. Wajahnya berbeda sekali sekarang, sangat cantik, putih berseri. Semestinya aku tidak mengenali dia lagi, tapi entah mengapa aku tahu dialah Tania.
Tania tersenyum lembut, memelukku erat. Dia menggamit lenganku tak lama setelah melepas pelukan.
‘Tunggu’ aku ingin memberi isyarat, karena tidak ada kata yang bisa keluar dari bibirku. Aku ingin melihat orang-orang itu sekali lagi. Ingin tahu siapa saja yang sedih karena aku tinggalkan.
Tania menggeleng pelan, sorot matanya seolah berkata, tiada guna aku mematung dan berdiri di situ. Toh ikatan kami sudah terlepas. Tidak akan ada lagi perilakuku ataupun mereka yang saling mempengaruhi satu sama lain. Yang tersisa hanyalah kebaikan yang pernah aku lakukan, yang kelak akan menjadi hadiah-hadiah kecil yang aku terima setiap harinya.
Aku pasrah. Membiarkan Tania menuntun tanganku, menuju jalan yang sangat asing.
Tapi aku masih ingin mengingat hari terakhirku di dunia. Rasanya baru kemarin aku bercanda dengan mereka, kini sudah jauh kami terpisah. Tidak mungkin aku kembali lagi, meski sekedar menengok apa yang sedang mereka lakukan. Pintu itu sudah tertutup.
***
‘Aku mencintaimu,’ ungkap Jason pelan. Aku hanya bisa menunduk.
‘Aku tahu’ jawabku tak kalah pelah.
Jalanan mendadak hening. Kami memilih menepi di depan sebuah gedung toko yang tak lama lagi tutup.
Aku mencintai Jason sejak kali pertama kami bertemu. Tiga tahun lalu, di sebuah ruang kecil saat kami sama-sama baru memulai karir. Kami berkenalan, sikapnya yang dingin tidak membuatku gentar untuk terus bertanya tentangnya. Semua orang tahu aku adalah Rosie yang ramah. Rosie yang ceria. Rosie yang terlalu banyak bicara. Lambat laun kami berteman dekat, seolah tidak ada dinding pemisah antara dingin dan kakunya sikap Jason dengan hangat dan periangnya sikapku.
Semua orang di tempat kami bekerja ingin kami bersatu. Segala macam cara mereka lakukan agar kami saling mengungkapkan perasaan. Tapi itu tidak pernah terjadi. Setiap kali kami mendapat kesempatan untuk berduaan, pasti kami habiskan dengan bercanda atau sekadar duduk dalam diam.
Sekali waktu pernah perasaanku begitu menggumpal padanya. Yang rasanya ingin kumuntahkan semua di depan dia. Tapi aku tidak pernah memiliki keberanian itu. Hingga akhirnya aku menyerahkan semua pada sang waktu, untuk perlahan menggerus gumpalan demi gumpalan. Aku tahu itu bukan keputusan bijak, karena perasaanku pada Jason cenderung aneh. Tidak seperti yang pernah kurasakan sebelumnya. Tidak dengan Andrew, tidak dengan Stephen.
Aku tidak merasakan berbunga-bunga seperti ketika Andrew mencoba menarik hatiku dengan rayuannya yang menggoda. Mungkin karena Jason memang tidak pernah menggodaku, walau dia sering menggoda perempuan lain di dunia maya.
Aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan seperti yang aku lakukan pada Stephen. Walau akhirnya belakangan aku tahu, perasaan itu semu. Aku hanya kagum karena Stephen jauh lebih tua dariku dan hanya berhenti sampai di situ.
Sikap Jason yang dingin justru membuatku seperti merasa mengenalnya. Aku seperti mengenalnya sejak entah kapan, walau nyatanya ya.. kami baru bertemu. Semakin aku tahu tentang Jason, semakin aku yakin bahwa akulah pendamping terbaik untuknya. Aku tahu semua yang dia inginkan dan dia butuhkan. Aku tahu cara menyeimbangkan diri antara memenuhi kebutuhannya, tapi tetap mengedepankan diriku.
Dan aku tidak peduli meski sudah berulang kali Jason membuat hatiku sakit. Aku terus menerus jatuh hati padanya, berulang-ulang. Hingga memar di sana-sini.
Aku tidak bisa menjelaskan jenis perasaan macam apa ini. Karena jika ini cinta, mestinya aku punya keberanian untuk sekedar mengungkapkannya dan tidak melulu bersembunyi dibalik topeng pertemanan. Tapi mungkin tidak juga. Mungkin memang ada tipe cinta tertentu, yang membuat lidah menjadi kaku saat hendak mengunkapkan perasaan dengan jujur. Yang jelas, bagiku ini adalah kali pertama.
Namun hubunganku dengan Jason tetap asyik. Layaknya sepasang kekasih, kami saling mengetahui tentang satu sama lain. Kapan dia sedang senang, kapan dia sedang marah, kami saling bisa membaca diam masing-masing. Mengartikan sorot mata, dan bisa berkomunikasi tanpa kata. Lama-lama aku menjadi terbiasa, toh dengan begini saja aku sudah bahagia.
Sekuat tenaga kuenyahkan pikiran menyakitkan seperti jika kelak suatu saat dia bersanding dengan orang lain. Sungguh aku tidak ingin. Biarlah jikapun itu harus terjadi, terjadilah di alam nyata dan tidak di alam pikir.
Aku bisa mengartikan setiap diam yang dia tampilkan, diamnya saat kesal berbeda dengan diamnya saat menyusun strategi. Aku tahu hal apa saja yang membuatnya senang, dan apa yang membuatnya marah. Langkahku hati-hati, sikapku tertata. Rosie yang periang, Rosie yang ceroboh, berubah menjadi Rosie yang elegan dan Rosie yang bijaksana jika sedang bersama Jason. Semua orang tahu, hanya Jason yang bisa membuat seorang Rosie menjadi amat penurut dan penyabar. Semua orang, kecuali Jason.
Tapi aku tidak keberatan. Biar waktu yang menjawab, karena kali ini aku tidak ingin menjadi Rosie yang terburu-buru. Kali ini aku ingin menitinya perlahan. Karena kali ini aku tidak ingin gagal lagi.
***
Hening masih mengisi ruang mobil yang hanya diterangi cahaya lampu dari luar. Jason tidak melanjutkan kalimatnya lagi. Perlahan dari balik kaca, kulihat lampu seolah berpendar. Ternyata hanya air mataku yang menggenang. Akhirnya kuputuskan untuk berbisik pelan.
‘Aku juga mencintaimu’.
Kalimat yang ingin kupendam tiga tahun lamanya akhirnya keluar dengan terbata. Sedikit terisak, oleh haru yang membuncah. Jason tidak berkata apa-apa lagi. Dia masih menolak memandangku, seolah masih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Aku bisa mengartikan diamnya saat itu, sebagai diam yang berpikir. Aku tahu kepalanya sedang bising sekarang. Bergulat dengan sesuatu entah apa. Aku tidak berani berkata apa-apa lagi saat Jason menyalakanan mesin mobil.
Dia mundur dengan cepat, dan seketika kami sudah berada di jalur jalan raya.
***
Aku sudah tidak ingat apa-apa lagi lepas malam itu, yang kutahu dari isyarat Tania, adalah sebuah bus malam melaju kencang ke arah kami, kehilangan kendali. Kami dilarikan ke rumah sakit, dan disinilah aku sekarang. Entah di mana Jason berada. Aku sulit melihatnya dengan penglihatanku yang kian samar.
Putih.
Hanya putih.
***
Bogor, 19 September 2019
23.56
If you have something nice to a person, say it. Life is too short to make people unhappy. X
Comments
Post a comment