Ruang tunggu masih sepi ketika saya tiba. Kami (saya dan penumpang pesawat lain), mendarat pukul sepuluh malam di kota Markisa dengan jadwal lebih awal dari biasanya. Otomatis kami punya waktu sekitar 4 jam untuk menunggu penerbangan selanjutnya, untuk bisa benar-benar sampai di kota yang kami tuju.
Pandangan saya menyapu bersih bandara yang nyaris kosong melompong. VIP lounge yang saya tuju, juga kosong tanpa penghuni kecuali petugas yang duduk sambil memainkan ponsel. Urung, saya balik badan tidak jadi menunggu di ruang tunggu istimewa itu. Untuk apa duduk di ruang istimewa jikalagi-lagi harus sendirian.
Saya berjalan pelan menelusuri bandara yang sudah berevolusi dengan begitu dahsyat. Ruang tunggu yang sangat memadai (bahkan lebih memadai ketimbang ruang tunggu bandara ibu kota), dengan fasilitas ruang baca dan kamar mandi (untuk mandi). Gerai-gerai makanan masih buka, beroperasi selama dua puluh empat jam. Saya puas melihat-lihat sambil memetakan akan makan apa sebelum dan setelah solat nanti. Punya waktu 4 jam menunggu, saya bisa makan dulu, baru sholat, lalu makan lagi. Haha.
***
Dalam setiap perjalanan, pasti selalu ada interaksi dengan orang asing yang kalau ditulis bisa jadi cerita romantis yang sekarang banyak viral di media sosial. Dari tempat saya menghabiskan soto ayam, saya bisa melihat seorang suster (biarawati) bermain-main dengan seorang anak kecil yang baru dikenalnya. Saya mengenali anak itu, karena dia dan ayahnya duduk satu baris dengan saya dari Jakarta. Mereka hanya berdua, tanpa ibu. Sang ayah nampak kewalahan namun sangat sabar mengurusi kelincahan anak laki-laki yang serba ingin tahu itu. Sejak dari pesawat saya sudah memerhatikan mereka melalui ekor mata, tapi tidak berniat untuk mengajak berbincang.
Seperti sudah lewat masa-masa saya berbincang dengan orang asing di perjalanan. Dulu, ketika masih sangatcupu muda saya selalu menyempatkan diri berbincang dengan siapa saja. Ibu-ibu, bapak-bapak, gadis sebaya.. tapi gak pernah dapat kenalan cowok stranger yang kece badai rajin sholat gitu. Tentu tidak semua saya ingat, hanya beberapa yang masih meninggalkan kesan: gadis muda penggemar Taylor Swift di Matarmaja menuju Jakarta dari Malang, perempuan seusia saya yang mahir membuat puisi dan kecanduan hal-hal berbau indie, senja, dan Fiersa Besari dalam perjalanan menuju Surabaya, single mother berusia empat puluhan yang membesarkan anak gadisnya seorang diri sejak bercerai dari suaminya di tahun kedua pernikahan mereka. Ya.. hanya mereka yang masih berbekas karena meninggalkan pelajaran yang cukup dalam. Selebihnya, hanya cerita-cerita selewat.
Sekarang, saya benar-benar kehilangan minat jika ada orang asing mengajak berbincang. Apalagi berkeluh kesah, memaksa saya mendengar kisah sedih dalam perjalanannya. Dulu, saya mudah sekali bersimpati dan mendengarkan dengan seksama. Sekarang.. kalau sudah ada tanda-tanda akan bercerita demikian, saya sudah ambil ancang-ancang balik kanan.
Mungkin karena umur. Mungkin karena saya bosan. Mungkin karena saya sudah mulai tinggi hati. Astaghfirullah. Memang ya, orang kalau masih muda, hatinya masih lebih murni ketimbang orang dewasa. Sulit bagi orang dewasa untuk bisa tetap murni dan ikhlas, bahkan untuk menunjukkan perhatian ke orang saja disampaikannya di grup (depan banyak orang) ketimbang obrolan personal.
Perhatian saya masih tertuju pada biarawati yang kini menyuapi anak kecil dengan coklat-coklat kecil. Si anak terlihat senang sekali, si bapak apalagi. Dalam hati saya berkata, jika bapak itu single father, dan biarawati diperkenankan menikah, bisa jadi itu ajang yang bagus untuk pedekate. Halah.
Saya menyelesaikan mangkuk soto tanpa nasi, menenggak habis teh jahe, dan bergegas ke luar. Dipikir-pikir, daripada masuk VIP lounge dan bayar ratusan ribu, kenapa tidak di mushola saja. Gratis, bisa selonjoran pula.
***
Lima bulan menjadi makhluk domestik, membuat saya sadar betapa nikmat anugerah bisa menetap di satu kota. Bisa menata hidup, bisa berencana apa yang akan dilakukan dalam minggu pertama, kedua, dan ketiga dalam setiap bulannya. Bisa menuruti rutinitasskincare. Bisa menjaga pola makan.
Untuk kali pertama menyentuh bandara di tahun ini, setelah tahun-tahun sebelumnya saya seperti hidup dari bandara ke bandara.. saya merasa ada yang janggal. Ternyata.. saya suka di rumah. Menjalani rutinitas domestik, bersih-bersih setiap minggu, diberantakin lagi hari berikutnya. Masak tiap pagi dan malam. Memikirkan buah apa yang harus saya beli, berapa lama masa penyimpanannya, menu apa yang akan saya masak.
Ketimbang harus terus mengejar pesawat. Pergi dini hari dengan mobil jemputan, packing-unpacking, mendatangi wilayah asing tapi harus bisa langsung memfamiliarkan diri..
Meski saya akui itu mengasyikkan, namun itu hanya tidak sejalan dengan tujuan yang kini mulai saya susun. Tujuan untuk menjadi bagian dari pembangun Generasi Penakluk Roma.
Tapi saya harus tetap melakukan perjalanan.
Karena hanya dalam perjalanan lah kesadaran-kesadaran seperti ini muncul tanpa diminta.
Hanya dengan melihat biarawati menyuapi coklat kepada seorang anak kecil lah pikiran macam-macam melanda.
Toh jika ditengok ke belakang, karena sebuah perjalanan juga, saya menemukan jalan untuk kembali mengenal-Nya.
***
Makassar, 29 Mei 2019
Pukul satu dinihari dan bandara semakin ramai. Sebenarnya tadi saya punya poin untuk diceritakan, tapi begitu laptop dibuka, buyar semua ide.
Pandangan saya menyapu bersih bandara yang nyaris kosong melompong. VIP lounge yang saya tuju, juga kosong tanpa penghuni kecuali petugas yang duduk sambil memainkan ponsel. Urung, saya balik badan tidak jadi menunggu di ruang tunggu istimewa itu. Untuk apa duduk di ruang istimewa jika
Saya berjalan pelan menelusuri bandara yang sudah berevolusi dengan begitu dahsyat. Ruang tunggu yang sangat memadai (bahkan lebih memadai ketimbang ruang tunggu bandara ibu kota), dengan fasilitas ruang baca dan kamar mandi (untuk mandi). Gerai-gerai makanan masih buka, beroperasi selama dua puluh empat jam. Saya puas melihat-lihat sambil memetakan akan makan apa sebelum dan setelah solat nanti. Punya waktu 4 jam menunggu, saya bisa makan dulu, baru sholat, lalu makan lagi. Haha.
***
Dalam setiap perjalanan, pasti selalu ada interaksi dengan orang asing yang kalau ditulis bisa jadi cerita romantis yang sekarang banyak viral di media sosial. Dari tempat saya menghabiskan soto ayam, saya bisa melihat seorang suster (biarawati) bermain-main dengan seorang anak kecil yang baru dikenalnya. Saya mengenali anak itu, karena dia dan ayahnya duduk satu baris dengan saya dari Jakarta. Mereka hanya berdua, tanpa ibu. Sang ayah nampak kewalahan namun sangat sabar mengurusi kelincahan anak laki-laki yang serba ingin tahu itu. Sejak dari pesawat saya sudah memerhatikan mereka melalui ekor mata, tapi tidak berniat untuk mengajak berbincang.
Seperti sudah lewat masa-masa saya berbincang dengan orang asing di perjalanan. Dulu, ketika masih sangat
Sekarang, saya benar-benar kehilangan minat jika ada orang asing mengajak berbincang. Apalagi berkeluh kesah, memaksa saya mendengar kisah sedih dalam perjalanannya. Dulu, saya mudah sekali bersimpati dan mendengarkan dengan seksama. Sekarang.. kalau sudah ada tanda-tanda akan bercerita demikian, saya sudah ambil ancang-ancang balik kanan.
Mungkin karena umur. Mungkin karena saya bosan. Mungkin karena saya sudah mulai tinggi hati. Astaghfirullah. Memang ya, orang kalau masih muda, hatinya masih lebih murni ketimbang orang dewasa. Sulit bagi orang dewasa untuk bisa tetap murni dan ikhlas, bahkan untuk menunjukkan perhatian ke orang saja disampaikannya di grup (depan banyak orang) ketimbang obrolan personal.
Perhatian saya masih tertuju pada biarawati yang kini menyuapi anak kecil dengan coklat-coklat kecil. Si anak terlihat senang sekali, si bapak apalagi. Dalam hati saya berkata, jika bapak itu single father, dan biarawati diperkenankan menikah, bisa jadi itu ajang yang bagus untuk pedekate. Halah.
Saya menyelesaikan mangkuk soto tanpa nasi, menenggak habis teh jahe, dan bergegas ke luar. Dipikir-pikir, daripada masuk VIP lounge dan bayar ratusan ribu, kenapa tidak di mushola saja. Gratis, bisa selonjoran pula.
***
Lima bulan menjadi makhluk domestik, membuat saya sadar betapa nikmat anugerah bisa menetap di satu kota. Bisa menata hidup, bisa berencana apa yang akan dilakukan dalam minggu pertama, kedua, dan ketiga dalam setiap bulannya. Bisa menuruti rutinitas
Untuk kali pertama menyentuh bandara di tahun ini, setelah tahun-tahun sebelumnya saya seperti hidup dari bandara ke bandara.. saya merasa ada yang janggal. Ternyata.. saya suka di rumah. Menjalani rutinitas domestik, bersih-bersih setiap minggu, diberantakin lagi hari berikutnya. Masak tiap pagi dan malam. Memikirkan buah apa yang harus saya beli, berapa lama masa penyimpanannya, menu apa yang akan saya masak.
Ketimbang harus terus mengejar pesawat. Pergi dini hari dengan mobil jemputan, packing-unpacking, mendatangi wilayah asing tapi harus bisa langsung memfamiliarkan diri..
Meski saya akui itu mengasyikkan, namun itu hanya tidak sejalan dengan tujuan yang kini mulai saya susun. Tujuan untuk menjadi bagian dari pembangun Generasi Penakluk Roma.
Tapi saya harus tetap melakukan perjalanan.
Karena hanya dalam perjalanan lah kesadaran-kesadaran seperti ini muncul tanpa diminta.
Hanya dengan melihat biarawati menyuapi coklat kepada seorang anak kecil lah pikiran macam-macam melanda.
Toh jika ditengok ke belakang, karena sebuah perjalanan juga, saya menemukan jalan untuk kembali mengenal-Nya.
***
Makassar, 29 Mei 2019
Pukul satu dinihari dan bandara semakin ramai. Sebenarnya tadi saya punya poin untuk diceritakan, tapi begitu laptop dibuka, buyar semua ide.
Comments
Post a comment