Terlahir sebagai hasil pencampuran suku-suku di Indonesia, membuat saya kadang iri dengan mereka yang punya identitas pasti. Aku orang Medan! Aku orang Sunda! Aku orang Jawa! Bisa dilontarkan dengan gamblang dan bangga. Saya masih harus memilah kata jika ada orang bertanya 'darimana asalmu?' karena di situ saya harus menganalisis secara cepat, apakah orang ini serius ingin tahu atau sekedar basa-basi membuka percakapan. Kalau hanya basa-basi kadang saya pilih salah satu kota yang paling dekat jaraknya dengan tempat kami berbincang. Atau berdasarkan asal si lawan bicara, kalau dia orang Sunda saya akan mengaku Gorontalo, kalau dia dari Sulawesi saya akan mengaku Sunda, pokoknya harus berbeda supaya tidak diajak pakai bahasa daerah.
Ayah saya Gorontalo, asli. Opa dan Oma keduanya orang Gorontalo, namun sejak kecil, mereka sudah pindah di Manado dan besar di sana. Saya pun lahir di Manado, Gorontalo hanya seperti nama saja bagi kami, karena marga yang tidak boleh lepas. Keluarga besar ayah hanya tinggal dua kepala keluarga yang mendiami Gorontalo, selebihnya di Manado. Ibu saya campuran Sunda dan Jawa, Eyang saya asli Solo kelahiran Ambarawa, dan Nenek dari Pamanukan, Subang yang sejak kecil tinggal di Cianjur. Ibu saya lahir di Cianjur. Tiga suku itu mengalir dalam darah saya, menjadikan saya menyukai semua jenis makanan. Masakan Jawa yang manis saya doyan, masakan Sulawesi yang pedas saya suka, dan masakan Sunda yang gurih saya embat. Tapi pagi ini saya bangun dalam keadaan pingin masakan Sumatera, walhasil untuk makan malam saya sampe bela-belain ke restoran Padang untuk beli paru-paru dan sayur nangka plus keripik balado. Bagi saya, masakan Sumatera sifatnya universal, cocok untuk semua lidah, apalagi lidah campuran saya ini. Waktu di Jambi, selama tiga minggu di sana saya berhasil menaikkan berat badan lima kilogram! Masakannya enak-enak, bahkan gerobak sarapan pinggir jalan pun bisa membuat saya yang tidak biasa sarapan makan berat, malah menghabiskan dua porsi nasi lemak.
Pikiran ini terlintas karena dalam seminggu terakhir saya banyak menonton footage rekaman rekan kantor menyanyikan lagu pulang ke kotamu.. tentang Yogyakarta.
Saya pingin juga bisa menyanyikan lagu yang mencerminkan kota saya gitu.. apa ya.
Tapi saya tidak keberatan, dan justru bersyukur dengan semua keragaman yang saya rasakan. Saya Indonesia, sudah itu saja cukup. Saya beruntung masih punya negara. Ada orang-orang yang seumur hidupnya dipertanyakan ke-jiwa negaraan nya. Seperti orang Tiongkok yang lahir besar di Indonesia, atau Amerika, yang tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di China, tapi wajahnya ya sudah ketahuan orang China. Itu ya..
***
Bogor adalah kota terlama yang saya diami. Memasuki tahun ke sepuluh sekarang, dalam lima bulan akan genap sepuluh tahun saya di sini. Jika ditambah dengan waktu masih kecil, berarti sudah sekitar tiga belas tahun. Saya tidak pernah tinggal di satu kota lebih dari tujuh tahun sebelum ini.
Sadar bahwa umur pun semakin bertambah, semakin besar angkanya, semakin kecil pikirannya. Saya takut kalau-kalau kelamaan tinggal di satu kota membuat seseorang semakin terkotakkan, semakin sulit membuka pikiran dan wawasan terhadap ide-ide baru yang kemungkinan terlalu abstrak untuk diwujudkan. Dulu, saya sangat terbuka dengan ide abstrak. Ide siapapun, selama itu berbunyi klik di hati saya, pasti saya wujudkan. Seperti ide membawa organisasi kami ke Gunung Es pertama, atau menjadi mahasiswa pecinta alam pertama yang memasuki goa terbesar di dunia, atau mewujudkan event musik demi Ibu Bumi. Hampir bisa dibilang, saya tidak punya mimpi untuk saya sendiri.
Perjalanan pagi tadi bersama abang ojek online yang menolak untuk berkendara cepat membuat saya berpikir. Banyak berpikir. Betapa kota ini masih sama dan akan terus sama. Tahun berganti, gedung bertambah, tapi ada sudut yang masih selalu tetap sama. Tidak terperhatikan, tapi tidak juga tergantikan.
Dua puluh tahun tidak akan ada artinya tanpa dipelajari. Makanya bahasa Al-Quran ada yang dikhususkan untuk orang-orang yang berpikir. Karena orang yang tidak berpikir, yang hanya menjalani begitu saja tanpa mengambil pelajaran, tidak akan menemukan makna makna bahasa yang tersirat dalam sebuah mega.
***
Menjadi seorang campuran, di satu kota yang didiami selama hampir satu dekade..
Boy.. how fast time flies..
Ayah saya Gorontalo, asli. Opa dan Oma keduanya orang Gorontalo, namun sejak kecil, mereka sudah pindah di Manado dan besar di sana. Saya pun lahir di Manado, Gorontalo hanya seperti nama saja bagi kami, karena marga yang tidak boleh lepas. Keluarga besar ayah hanya tinggal dua kepala keluarga yang mendiami Gorontalo, selebihnya di Manado. Ibu saya campuran Sunda dan Jawa, Eyang saya asli Solo kelahiran Ambarawa, dan Nenek dari Pamanukan, Subang yang sejak kecil tinggal di Cianjur. Ibu saya lahir di Cianjur. Tiga suku itu mengalir dalam darah saya, menjadikan saya menyukai semua jenis makanan. Masakan Jawa yang manis saya doyan, masakan Sulawesi yang pedas saya suka, dan masakan Sunda yang gurih saya embat. Tapi pagi ini saya bangun dalam keadaan pingin masakan Sumatera, walhasil untuk makan malam saya sampe bela-belain ke restoran Padang untuk beli paru-paru dan sayur nangka plus keripik balado. Bagi saya, masakan Sumatera sifatnya universal, cocok untuk semua lidah, apalagi lidah campuran saya ini. Waktu di Jambi, selama tiga minggu di sana saya berhasil menaikkan berat badan lima kilogram! Masakannya enak-enak, bahkan gerobak sarapan pinggir jalan pun bisa membuat saya yang tidak biasa sarapan makan berat, malah menghabiskan dua porsi nasi lemak.
Pikiran ini terlintas karena dalam seminggu terakhir saya banyak menonton footage rekaman rekan kantor menyanyikan lagu pulang ke kotamu.. tentang Yogyakarta.
Saya pingin juga bisa menyanyikan lagu yang mencerminkan kota saya gitu.. apa ya.
Tapi saya tidak keberatan, dan justru bersyukur dengan semua keragaman yang saya rasakan. Saya Indonesia, sudah itu saja cukup. Saya beruntung masih punya negara. Ada orang-orang yang seumur hidupnya dipertanyakan ke-jiwa negaraan nya. Seperti orang Tiongkok yang lahir besar di Indonesia, atau Amerika, yang tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di China, tapi wajahnya ya sudah ketahuan orang China. Itu ya..
***
Bogor adalah kota terlama yang saya diami. Memasuki tahun ke sepuluh sekarang, dalam lima bulan akan genap sepuluh tahun saya di sini. Jika ditambah dengan waktu masih kecil, berarti sudah sekitar tiga belas tahun. Saya tidak pernah tinggal di satu kota lebih dari tujuh tahun sebelum ini.
Sadar bahwa umur pun semakin bertambah, semakin besar angkanya, semakin kecil pikirannya. Saya takut kalau-kalau kelamaan tinggal di satu kota membuat seseorang semakin terkotakkan, semakin sulit membuka pikiran dan wawasan terhadap ide-ide baru yang kemungkinan terlalu abstrak untuk diwujudkan. Dulu, saya sangat terbuka dengan ide abstrak. Ide siapapun, selama itu berbunyi klik di hati saya, pasti saya wujudkan. Seperti ide membawa organisasi kami ke Gunung Es pertama, atau menjadi mahasiswa pecinta alam pertama yang memasuki goa terbesar di dunia, atau mewujudkan event musik demi Ibu Bumi. Hampir bisa dibilang, saya tidak punya mimpi untuk saya sendiri.
Perjalanan pagi tadi bersama abang ojek online yang menolak untuk berkendara cepat membuat saya berpikir. Banyak berpikir. Betapa kota ini masih sama dan akan terus sama. Tahun berganti, gedung bertambah, tapi ada sudut yang masih selalu tetap sama. Tidak terperhatikan, tapi tidak juga tergantikan.
Dua puluh tahun tidak akan ada artinya tanpa dipelajari. Makanya bahasa Al-Quran ada yang dikhususkan untuk orang-orang yang berpikir. Karena orang yang tidak berpikir, yang hanya menjalani begitu saja tanpa mengambil pelajaran, tidak akan menemukan makna makna bahasa yang tersirat dalam sebuah mega.
***
Menjadi seorang campuran, di satu kota yang didiami selama hampir satu dekade..
Boy.. how fast time flies..
Comments
Post a comment