Dia akhirnya beranjak
“Aku pamit,” ujarnya sembari meletakkan sehelai undangan
Dia diam tak bergerak
Matanya nanar menatap lembaran yang tergeletak.
***
Dia.. dia.. juga dia
Satu persatu mereka pergi
Dengan atau tanpa pamit pun tetap pergi
Mengulurkan tangan pada jemari yang lain
Uluran yang dulu pernah tertuju untuknya,
Namun ragu tuk ia remas
***
Pada jumawa ia bertanya
Adakah ini hukuman karna tak mau membuka ruang
Padahal bukan enggan yang ia pegang,
Ketakutan masa silam yang tak ingin lagi dia kenang
Lalu semua pergi
Uluran demi uluran pun ditarik kembali
Tak menyisakan seutaspun untuknya berdiri
Dia hanya bisa duduk dalam diam dan sendiri
Bertanya pada sang semilir yang membisik
***
Wahai jiwa yang tengah menengadah
Salahmu terlalu kecil jika dibandingkan ampunan-Nya
Tidak ada yang mustahil bahwa semua kan indah
Bukan karenamu mereka berpindah
Tapi Dia yang mengaturnya untukmu mengularkan kisah
***
Wahai cahaya yang tengah redup
Jika mereka tak memilihmu tuk menjadi pendamping hidup
Berhentilah menyalahkan dirimu yang tertutup
Bukan itu nafas yang harus kau hirup
***
Karena kelak sejatimu akan tiba
Pasti seperti yang telah Dia janjikan
Tahap demi tahap akan kau rasa
Dan sejati tidak akan berteka teki membuatmu ketakutan
Akan kau dapati takutmu lenyap
Kau buka hati pada dia yang bersiap
Melangkah mantap
Tanpa kalimat bersayap
Kalian dua jiwa yang telah ditakdirkan bersama,
Bersabarlah sedikit lagi.
Sedikit lagi
Sedikit lagi
Sedikit lagi
Comments
Post a comment