Perempuan itu selalu mengenakan tudung menutupi kepalanya yang tertunduk. Setiap pagi ia duduk di sudut jalan. Seperti sedang menunggu, karena ia selalu menoleh pada setiap bis yang berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Setiap pagi, ia duduk di tempat yang sama. Dengan posisi yang sama. Tidak bergeser walau sejengkal.
Sudah tiga minggu aku perhatikan kehadiran Perempuan Penyendiri itu, tiga minggu kuikuti gerak wajahnya yang selalu menoleh setiap bis berhenti. Ia sedang menunggu seseorang, begitu pikirku.
Kuakui, dia memiliki wajah yang manis -memang tidak semanis Alena- namun cukup menarik untuk dipandang berlama-lama. Meski samar, wajah dibalik tudung itu dapat kupastikan nyaris tanpa riasan. Sepagi itu, dia sudah menunggu seseorang yang tak kunjung tiba. Entah sudah berapa lama ia datang dan pergi setiap pagi untuk menunggu, karena sebelum tiga minggu yang lalu, perhatianku masih amat tersita dengan soalan tentang melepaskan Alena.
Sampai hari ini tiba, akhirnya aku memberanikan diri mendekatinya. Perempuan Penyendiri yang mengenakan busana serba hitam, menutupi wajah dengan tudung di kepala, tersenyum ramah tanpa suara.
Dengan senyum teramat tulus, dia mempersilakan ku duduk di sampingnya. Meski tanpa kata, aku bisa melihat pancaran ketulusan di matanya.
Pelan, aku memberanikan diri untuk bertanya. Tak kusangka, jawabnya hanya tertawa dan menggeleng. Masih tanpa kata.
Kusampaikan pada nya bahwa selama tiga minggu belakangan aku memperhatikan rutinitas nya setiap pagi. Aku mencoba untuk jujur bahwa aku tertarik untuk tahu, apa yang sedang ia tunggu. Karena aku tahu, perempuan menghargai kejujuran dan rasa penasaran.
Ia terlihat menikmati saat kuakui aku memperhatikannya, dan ingin tahu cerita yang dipendamnya. Seorang perempuan, yang duduk sendirian, selalu ingin bercerita pada seseorang yang bisa dia percaya. Perempuan dengan antusiasme di matanya, akan kesepian jika berlalu tanpa teman bicara.
Namun perempuan ini tetap menolak untuk bersuara. Ia hanya tersenyum, tertawa dan kadang-kadang menjawab sekadarnya. Masih tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya ia tunggu di bangku itu. Dan aku.. Sebagai seorang pengelana yang telah bertemu jutaan manusia, aku bisa melihat, pancaran kesedihan yang ia sembunyikan, di balik setiap kerut tawa yang ia cipta. Aku menangkap gurat kesedihan yang teramat mendalam, saat ia bercerita singkat mengenai dirinya dan pekerjaannya. Tapi tidak tentang yang ia tunggu. Ia menolak menjawab dengan tawa yang ia buat sebahagia mungkin.
Aku selalu mampu mendeteksi kesedihan seorang perempuan. Sesamar apapun mereka bisa sembunyikan.
Sebelum pamit, aku berjanji padanya untuk kembali esok hari. Jika dia tidak berkeberatan, aku ingin menemaninya selalu setiap pagi. Menunggu bis yang lewat atau berhenti.
Ia mengangguk mengiyakan, dengan mata cemerlang dan antusias.
Mata yang membuatku yakin, ada kecerdasan di sana. Ada kebaikan, juga kebijaksanaan. Mata yang mendorongku untuk berkata "kelak aku ingin, kau menceritakan semuanya padaku. Aku ingin tahu, dan aku ingin mendengar semua itu."
Comments
Post a comment