Aku pernah mendengar, tentang sebuah negeri yang warnanya serba putih. Konon, di negeri itu orang-orang tidak mengenal warna lain selain hitam dan putih, namun hitam bagi mereka bukanlah warna. Melainkan bentuk dari ketiadaan putih. Hanya putih yang mereka kenal, sehingga langit pun selalu ditutupi awan putih tanpa celah.
Tadinya aku berniat mengunjungi negeri itu selepas dari negeri ini, Negeri yang berada di ambang batas realita dan mimpi. Namun, seperti yang sudah kau ketahui, Alena, aku memutuskan untuk tetap tinggal dan bekerja di sini. Agar aku bisa kembali padamu, menuntaskan perjalananku mengelilingi nyaris separuh isi bumi selama lima ratus tahun.
Jika kau mau, nanti setelah aku berhasil mengumpulkan uang, kita menikah dan berbulan madu di Negeri Serba Putih itu. Itupun jika kau mau. Karena Negeri Serba Putih belum banyak diketahui orang, kita harus mencari sekaligus bertualang dengan hari-hari yang serba tidak menentu. Jika kau mau.
Konon katanya, penduduk Negeri Serba Putih adalah orang-orang yang taat pada Sang Kuasa. Mereka mempercayai keberadaan Sang Kuasa, sebagaimana aku mempercayai peruntungan pada peluang-peluang pertemuan debu kosmik. Sahabatku Si Api, bercerita tentang Negeri Serba Putih seolah negeri itu adalah dambaan bagi setiap yang taat dan percaya. Namun tidak banyak yang bisa kesana, karena jarak yang ditempuh dari negeri ini sangatlah panjang dan tidak menentu. Mereka yang berhasil kembali pulang dari Negeri Serba Putih, mendapat kedudukan terbaik di tengah-tengah Penduduk Negeri yang berada di ambang batas Realita dan Mimpi.
Maukah kau bertualang bersamaku kesana, Alena? Aku memang bukanlah seorang taat. Bahkan kehadiran Sang Kuasa masih kuragukan hingga saat ini. Namun entah kenapa, hatiku merasa ada kebenaran dibalik Negeri Serba Putih. Ada ketenangan yang menjanjikan bagi siapapun yang berhasil mendekatinya, apalagi sampai menginjakkan kaki di sana. Aku hanya ingin membuktikan rasa penasaranku, jika benar yang mereka katakan tentang Sang Kuasa. Karena itulah yang selalu aku lakukan dalam pengembaraanku lima ratus tahun ini; membuktikan. Aku tidak mau menolak ide sebelum terbukti ketidakbenarannya. Aku tidak mau menolak fakta baru, hanya karena opiniku tidak sampai kesana. Ilmuku masih sangat sedikit untuk angkuh, itulah sebab aku terus mencari dan berkelana, ke tempat-tempat yang kata orang begini dan begitu.
Namun kini di tengah jalan, aku bertemu denganmu. Dan kurasa, sudah saatnya aku untuk berhenti sejenak. Seseorang tidak bisa hidup sendirian terlalu lama. Dia akan kehilangan akal sehatnya karena tidak punya teman bicara. Dan aku senang berbicara denganmu, Alena. Kecerdasanmu menjadi pesona utama. Aku bisa berbicara tentang nyaris separuh isi dunia, dan melihat matamu berbinar paham dan mengerti. Aku bisa berbicara tentang ramalan masa depan, dan melihat bibirmu mengerucut tak setuju, walau tak kau bantah dengan lugas mentah-mentah. Selalu kau bawakan referensi, bukti dan logika berpikir yang bisa kuterima setiap kali pendapatku salah.
Maka katakan padaku jika pengetahuanku tentang Negeri Serba Putih ini salah. Karena aku ingin mencari negeri itu bersamamu. Jika kau mau. Kita akan bentuk sebuah tim yang solid, dengan aku sebagai pengemudi dan kau berada di posisi navigasi. Ah.. Tapi kemampuan membaca petamu payah sekali. Haha. Tak apalah. Kau tetap bisa menjadi teman perjalanan terbaik. Dan tim kita akan tetap solid. Kau akan mengurusi segala sesuatu tentang kebutuhan, dan aku akan terus menjaga agar kita berada dalam jalur yang benar. Apakah hal lain yang lebih penting selain tim yang solid dalam keluarga? Tidak ada.
Alena, jujur saja aku mulai merasa betah di negeri ini. Sudah dua puluh hari dan aku menjalani rutinitas yang nyaris selalu sama. Kecuali di hari ketujuh, di mana semua orang beristirahat. Banyak hal yang baru kusadari. Yang tidak pernah aku temukan selama diriku berkelana. Aku akan ceritakan padamu semuanya nanti, ketika kita telah bersatu dalam ikatan cinta.
Yang jelas, aku banyak mendengar cerita Negeri Serba Putih itu dari petani-petani yang beristirahat di siang hari. Semakin aku mendengar, semakin ingin aku pergi ke sana, berdua denganmu. Sejak aku menemukanmu, rasanya tidak ingin lagi ku berkelana sendirian. Padahal selama lima ratus tahun, aku teramat menjunjung tinggi ketersendirian dan keterasingan ku ini. Tanpa ikatan, dan tata aturan. Kau.. Berani-beraninya kau mengubah itu semua. Hmm, aku jadi geli sekarang.
Kata orang, di Negeri Serba Putih terdapat mata air yang mengalir tanpa henti. Airnya tidak habis meski diambil oleh ribuan manusia. Penduduk dari berbagai belahan bumi datang untuk air itu. Konon, air itu dapat mengabulkan berbagai keinginan, namun aku tidak percaya. Karena aku tidak percaya adanya kekuatan lain yang mampu mewujudkan mimpi, selain usaha kita sendiri. Kalau pun ada, maka aku akan mencari air itu saja daripada susah-susah menjadi pesuruh tani, lalu meminta Sang Air untuk membawamu kemari.
Tapi jika ternyata itu benar adanya, maukah kau mencari negeri itu bersamaku? Dan jika keinginamu bisa diwujudkan Sang Air, apakah kau akan menyebutku dalam harapmu?
***
Comments
Post a comment