Setiap orang pasti punya alasan sendiri mengapa mereka berubah. Sudah umum terjadi, kebanyakan alasan yang mendasari, adalah karena hati. Entah hati yang patah, atau hati yang jatuh. Jika jatuh hati bersambut, beruntunglah. Namun jika tidak bersambut, patahan itu akan menjadikan karakter seseorang yang semula lembut, menjadi semrawut, atau sebaliknya.
Setahun lepas semenjak kepergian Alena bersama surat bersampul birunya. Aku tidak lagi terkenang, apalagi bersedih. Semua energi kukerahkan untuk bekerja. Dari terbit matahari (terkadang bahkan sebelum terbit pun) hingga terbenam nya sang senja. Seringkali kubiarkan mataku terus terbuka lebar sepanjang malam, menolak merebahkan tubuh, menolak menanggapi senyap, agar bayang Alena tak mampu hinggap.
Aku yang biasa berkelana, bertegur sapa dengan siapa saja, menjadi lebih banyak menarik diri. Berfokus pada urusanku sendiri, hasil padi ku, dan usahaku membeli sepetak tanah yang lain. Kau tahu, aku sudah mempunyai tiga petak tanah kini. Aku berhasil memutar modalku, mengajak seorang karib untuk bekerja sama, dan memperluas bidang usaha. Semua itu tidak datang dalam semalam. Tidak dalam sebulan. Berbulan sejak kepergian Alena, yang kutangisi dalam diam. Perlahan kini aku sudah akan memanen sedikit hasil yang lama kutanam.
Kadang, aku berterimakasih pada hati yang terluka. Karena tanpanya, aku tidak akan pernah bisa mengenal siapa diriku sebenarnya.
Aku tidak akan pernah tahu, apa esensiku terlahir ke dunia ini. Apa makna yang kucari, dalam setiap pengelanaan mengunjungi negeri-negeri. Tidak. Aku tidak akan pernah tahu, jika hati ini tidak patah kala itu.
Kini aku mulai menggambar sketsa sebuah mimpi. Meski aku tidak pandai menggambar, tapi biarlah biar pikiranku dapat membaca apa yang hatiku inginkan.
Membeli beberapa petak tanah, sehingga tanah milikku leluasa untuk ku kelola. Sungai yang mengalir di pinggirnya, akan kujadikan tempat bermain yang selalu bersih dan jernih. Tidak akan kuperbolehkan siapapun datang dan semena-mena menggunakan barang-barang terlarang. Aku akan membangun rumah di pinggiran sungai itu, rumah kayu yang atapnya dari bambu. Rumah yang dikelilingi oleh petak-petak sayur mayur tanamanku. Akan kubangun sebuah pondok baca, agar anak-anak di negeri ini mengenal imajinasi lewat rangkaian kata.
Ah.. Betapa menyenangkan mimpiku itu.
Dan.. Hei, sepertinya ini saatnya bagiku untuk memberitahumu, tentang tujuan yang tempo hari masih kusembunyikan. Kubilang aku sudah menemukan tujuan, yang lebih dari sekedar memenuhi ego dan ambisi. Menyambangi negeri-negeri.
Tujuan yang kupegang erat, yang sejatinya sederhana sekali. Setelah jauh berjalan dan mencari, ternyata apa yang ingin kutemukan justru adanya dekat disini.
Jika Sang Kuasa benar adanya, dan kini aku yakin sepenuhnya, maka aku ingin Dia merestui segala apapun yang kuperbuat di Bumi ini. Apapun. Aku takut pada kemampuan Sang Kuasa dalam meluluh-lantakkan semesta hanya dengan sekali instruksi. Jadi aku ingin, hidup dalam jalan yang tidak mendapat amarah Murka dari Sang Kuara.
Tujuanku adalah agar Sang Kuasa bangga padaku. Kutemukan, kebahagiaan Sang Kuasa ada pada orang lain yang membahagiakan orang lain, orang yang memberi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya manfaat.
Jika perjalanan ku berkelana mengelilingi nyaris separuh isi bumi selama lima tahun belum banyak menebar manfaat, maka di negeri ini.. Negeri yang berada di ambang batas realita dan mimpi, aku akan menjadi seseorang yang dapat didengar karena reputasi yang kubangun diam-diam.
Jika memberi makna adalah tujuan, maka jutaan kebaikan akan terus mengalir. Mengasihi bumi yang kian renta.
Comments
Post a comment