Perpisahan memang tidak pernah menyenangkan, Alena. Aku bisa berkata demikian meskipun selama lima ratus tahun aku berkelana menyambangi nyaris separuh isi bumi. Entah sudah berapa ribu perpisahan yang aku lakukan sepanjang jalan, dan tahu bahwa tidak akan pernah kita bertemu lagi. Termasuk denganmu.
Aku belajar untuk tidak menangis kala itu. Tidak semenjak perpisahan ku kali pertama, lima ratus tahun yang lalu. Kala usiaku masih teramat muda, dengan penuh ambisi dan haus untuk melihat dunia, aku berpisah dengan kampung halaman. Meninggalkan ayah-ibuku, adik-adik, nenek-kakek dan paman-bibi. Mereka melepasku dengan tangisan. Berpelukan sementara aku melangkah dengan tegar. Sekuat tenaga menahan tangis, meski akhirnya luluh juga dibalik rimbunan bambu.
Sejak saat itu aku bertekad untuk tidak akan pernah lagi menangisi kepergian. Tidak akan pernah menunjukkan tangisku pada siapapun. Tidak.. Bahkan pada mu.
Tekadku teramat kuat, sampai-sampai pernah di suatu negeri, rumah yang aku tumpangi rubuh diterpa badai. Si pemilik rumah adalah sepasang renta yang hidup sendirian. tidak memiliki anak, dan sanak saudara. Mereka hanya saling memiliki satu sama lain. Setiap hari aku mendengar, gumaman ketakutan sang nenek akan ditinggal pergi oleh sang kakek. Begitupun sebaliknya. Mereka selalu berpegangan tangan, pergi kemanapun bersama. Bahkan ketika malam tiba, sang kakek selalu setia mengantar sang nenek ke dapur atau kamar mandi. Seolah mereka tidak ingin melewatkan semenitpun kebersamaan mereka.
Hingga sampailah saat dimana bencana itu terjadi. Aku menyaksikan tubuh sepasang renta itu remuk ditimpa kayu penyangga. Rumah yang sama rentanya dengan mereka, hancur diterbangkan badai. Beruntung aku sempat meloncat keluar. Menyelamatkan diri sambil berteriak membangunkan mereka. Namun mereka justru memilih untuk tetap berbaring. Sang kakek sudah sulit diajak bergerak cepat. Sang nenek pun tidak mau meninggalkan sang kakek begitu saja. Mereka berpelukan, pasrah mengikuti kehendak rumah yang sudah sama tuanya.
Aku tidak menangis saat itu. Tidak bahkan ketika jasad mereka dimakamkan bersamaan. Tidak, ketika semua orang meletakkan bebungaan, dan merapal kekaguman pada pasangan yang penuh cinta hingga tua.
Aku menangis, saat malam menjelang. Melewati bekas rumah tua yang kutiduri selama dua malam. Tahu bahwa setiap hal baik yang diperjuangkan, pasti akan berakhir jua.
Saat itu aku tahu, bahwa pada akhirnya pengelanaan ku pun akan kuakhiri. Maka aku berjalan cepat, menyusuri lorong-lorong gelap. Bergegas meninggalkan negeri itu, sebelum badai selanjutnya datang dan mengakhiri perjalananku.
Ada sensasi aneh yang kurasakan ketika kubiarkan air mata mengalir. Basah. Hangat. Asing. Tanganku bergetar menahan aliran selanjutnya. Aku menggigit bibir, merapal mantra agar bisa kuat melanjutkan perjalanan.
Namun aku menyerah.
Dibalik pagar tembok sebuah kastil, di lorong gelap tak berpenghuni, aku terduduk dan menangis. Menangisi sepasang tua yang begitu penuh kasih, damai dalam menghadapi hari akhir.
Saat itu aku sadar, betapa ketersendirian ini membuatku lupa. Bahwa manusia, sekuat apapun dia, pasti butuh cinta. Ketenangan, kedamaian yang terpancar dari wajah sepasang renta itu jelang pemakaman, membuat ku iri dan nelangsa. Bukan kematian mereka yang kutangisi. Melainkan ketersendirian dan keterasingan ku di separuh bumi ini.
Selamanya aku akan menjadi orang asing. Mendatangi satu negeri demi negeri yang lain, sebagai orang asing. Bahkan ketika aku pulang kembali ke negeri asalku pun, aku tetap orang asing.
Air mataku deras bagai aliran sungai. Tubuhku berguncang, nafasku menderu. Kesedihanku memuncak, tatkala ku menyadari hari sudah sepenuhnya gelap. Dan tak ada lagi orang yang lewat di jalanan ketika matahari tenggelam. Negeri ini adalah negeri yang taat. Setiap kegiatan kota akan berhenti ketika malam. Sunyi yang mencekam membuatku bertanya- apa sebenarnya yang aku cari?
Setelah itu, aku sampai di negeri mu, Alena.
Bertemu denganmu untuk pertama kali, dengan segala keterasingan yang aku bawa, kau.. Dan pesonamu.. Seperti tak asing lagi bagiku. Berbicara denganmu, setiap kali kita bertemu, di pasar, di taman, aku seolah telah mengenalmu demikian lama.
Aku tahu makanan kesukaanmu. Aku tahu impian terbesarmu. Aku tahu ketidaksukaanmu pada hal-hal yang tidak masuk akal. Aku tahu segalanya tentangmu, bahkan hanya dengan pertama kali kita berbincang.
Saat itu sebenarnya aku pun tahu, bahwa aku telah jatuh cinta.
Namun lagi-lagi aku harus merelakanmu pergi. Karena cinta, tidak boleh dimiliki oleh seorang pengelana yang terus menjelajahi bumi.
Melihatmu menangis begitu terisak, menghapus rona ceria yang selalu kau tampakkan untuk semua orang, membuat ku ingin menarik lenganmu dan mengajakmu pergi berkelana. Tidak ingin meninggalkanmu, dan juga tidak ingin menghentikan perjalananku di negerimu.
Kudengar kau menangis begitu mengiba. Menolak makan dan bicara selama dua minggu lamanya. Aku pun disini gelisah. Namun ego dan ambisiku menolak tuk menyerah.
Maafkan aku, Alena.
Ketahuilah disini aku tidak tinggal diam.
Aku bekerja dan berusaha, dan telah kutetapkan satu tujuan ku dalam bekerja dan berusaha ini; adalah engkau, wahai perempuan yang sedang dalam penantian.
Berhentilah menaruh hatimu pada mereka yang hanya mampir sebentar. Kau akan lelah menangisi kepergian jika terus menerus berharap pada mereka yang tak pernah bersedia tuk tetap tinggal. Kau jaga, kau simpan dan kau titipkan pada Sang Kuasa. Bukankah kau mempercayai adanya Sang Kuasa?
Karena pada saatnya nanti, akulah yang akan mengambil titipan itu. Aku yang akan mendatangimu, dan menetap untukmu. Bukan lagi singgah lalu pamit. Membawa sepotong hati yang telah kau iris dengan belati.
Aku akan membawakannya utuh untukmu. Sehingga tidak akan ada lagi tangis yang kau tumpah, seperti saat kemarin, di bulan basah pengawal tahun. Saat aku tiba-tiba mengumumkan kepergianku, padahal kau sudah merencanakan akan menghabiskan waktu bersamaku.
Maafkan aku, Alena.
Aku berjanji akan kembali, untukmu.
Comments
Post a comment