Kali ini saya ingin bercerita tentang curcolan pribadi saya, yang dalam beberapa hari kemarin (sampai beberapa minggu yang akan datang), sedang disibukkan dengan transisi - pindah rumah.
Pindah.. Berubah.. Adalah ketidaknyamanan terbesar dalam hidup seseorang. Tidak semua orang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Makanya banyak orang yang memilih tinggal di pemukiman kumuh ketimbang di rumah susun yang disediakan oleh pemerintah. Karena menetap, jauh lebih mudah ketimbang berpindah.
Repot sekali saya belakangan ini. Sampai ajuan cuti tiga hari (yang jadinya seminggu karena ditambah libur ini dan itu) pun masih juga tidak cukup.
***
Malam ini saya kembali menyambangi gerai elektronik. Saya akhirnya memutuskan untuk membeli pendingin ruangan (yang sebelumnya dijanjikan akan diberi gratis sebagai bonus oleh developer rumah, namun ternyata palsu). Tadinya saya tidak ingin membeli pendingin, karena saya pikir toh selama enam bulan tinggal di rumah serupa, dan letak kamar yang sama, saya bisa juga bertahan tanpa pendingin ruangan.
Namun rupanya rumah ini berbeda.
Keyakinan saya bertambah ketika seorang rekan kerja menginformasikan tentang harga pendingin ruangan yang sedang diskon. Meskipun jauh harus ke Cibinong, saya mengiyakan ajakannya untuk ikut membeli pendingin ruangan dengannya (tapi beliau beli untuk kantor. Untuk ruangan saya yang baru nanti).
***
Ibu yang pergi bersama saya, adalah seorang wanita di usia empat puluhan. Karirnya sukses, suaminya pun mapan. Anak-anaknya cerdas, dan semuanya diterima di universitas ternama Indonesia.
Jika dilihat sepintas dari tampilan luar, ibu ini tampak seperti seorang sosialita. Gelang dan jam tangan mahal melingkar di lengannya, tas ber merk yang kita semua tahu harganya pasti di atas satu juta. Mobil yang dikendarainya juga ber merk mahal, keluaran terbaru. Belum lagi investasi gila-gilaan yang dia tanam di sana sini.
Jika sudah demikian, tentu orang akan mudah menilainya sebagai ibu-ibu materialistis yang hobi foya-foya uang suami.
Adakah yang protes jika ibu tersebut justru saya sebut sebagai Perempuan Minimalist?
Karena ya. Menurut saya, ibu -yang juga adalah direktur keuangan kantor kami- adalah seorang minimalist.
Jadi begini,
Minimalism pada prinsipnya bukanlah tentang membeli barang dengan harga termurah. Mentang-mentang ada tas harga lima ratus ribu, jadi tidak boleh beli tas harga satu juta lima ratus.
Bukan juga tentang tidak membeli barang sama sekali, demi menghemat - menimbun uang di rekening.
Minimalism adalah tentang mengeluarkan uang se-apa adanya- mungkin, tanpa memaksakan, dan dengan niat untuk kebahagiaan diri sendiri. Bukan untuk mengharapkan penilaian orang lain.
'Pengeluaran apa adanya' tentu tidak ada alat ukurnya. Kita tidak bisa menyamaratakan pengeluaran seseorang 'minimalist harus bisa hidup dengan satu juta rupiah per bulan!' Padahal penghasilannya seratus juta per bulan. Akan berbeda 'pengeluaran apa adanya' pebisnis yang omsetnya ratusan juta per bulan, dengan pegawai perusahaan biasa yang gajinya tiga juta per bulan. Kalau kita menilai minimalism dari kuantitas, maka tidak akan ada pengusaha yang boleh menyebut diri sendiri sebagai minimalist.
Karena minimalism adalah tentang value. Seberapa besar fungsi benda itu pada kita. Jika beli tas seharga satu juta akan awet dipakai selama lima tahun, tentu jauh lebih baik daripada beli tas tigaratus ribu tapi hanya bertahan enam bulan. Dan jika seseorang itu mampu membeli tas senilai satu juta (tidak perlu sampai berhemat, menabung, apalagi berhutang), pun membelinya karena spark joy untuk diri sendiri dan bukan untuk pamer ke orang lain, itulah Minimalism.
Kuncinya ada pada nilai, spark joy, dan tidak memaksakan diri.
Jika ada orang berpenghasilan pas-pasan, tidak pernah belanja macam-macam, namun suatu hari tiba-tiba dia membeli tas mahal karena terdesak oleh keinginan, lalu setelahnya ia harus ekstra berhemat sampai gajian berikutnya, itu bukanlah minimalist.
Karena dia memaksakan kondisi. Ketika dia harus ekstra berhemat (memaksakan diri) untuk membeli sesuatu yang diinginkan, dia bukan minimalist. Kecuali jika sesuatu itu dia butuhkan.
Kemampuan mendefiniskan keinginan dan kebutuhan inilah yang tricky.
Ibu direktur keuangan yang tadi menghabiskan waktunya dengan saya, juga sama. Hanya membeli barang jika butuh. Dan ketika membeli barang, beliau akan memanfaatkan segala kemungkinan untuk mendapat harga terendah. Mulai dari memilah produk diskon, membandingkan spek, menganalisa segala tambahan harga tak tertulis, sampai ke penggunaan promo-promo dari poin, voucher, dan sebagainya.
Saya takjub ketika kita hendak membeli minuman, si ibu benar-benar memperhatikan tawaran potongan harga oleh kartu bank yang ia punya.
Mungkin bisa saja ia terlihat shopaholic bagi yang belum tahu. Tapi sejatinya dibalik setiap kebiasaan menyambangi ritel dan pusat belanja, ada pengetahuan bermanfaat tentang informasi harga, potongan harga, dan pembanding toko mana yang lebih murah.
Tidak selalu mereka yang tampil fancy, senang ke mall, adalah mereka yang sukanya menghabiskan uang.
Oh ya.. Saya dulu seperti itu. Senang belanja, menghabiskan uang, lalu menyesal di hari kemudian. Jadi sekarang, setiap kali pergi ke mall dan isinya penuh orang, saya memilih untuk putar balik lalu pulang. Bukan karena kini saya sudah tidak suka belanja lagi, tapi karena saya sudah puas jadi konsumerist, dan saya tahu bahwa semua label diskon itu adalah sama saja.
***
Laki-laki mungkin akan mudah merasa minder jika berhadapan dengan perempuan seperti ibu direktur saya tadi. Dengan statusnya dan penampilannya, laki-laki lemah mungkin akan merasa terintimidasi.
Tapi tidak bagi mereka yang jeli. Yang jeli akan tahu bahwa apa yang ibu itu gunakan, adalah pilihan-pilihan terbaik atas pertimbangan harga, kemampuan daya beli, dan fungsi jangka panjang. Minimalist mempertimbangkan aspek tersebut yang semuanya mengutamakan kebahagiaan diri sendiri.
Pantas saja si ibu direktur saya itu punya suami yang tenang, bahagia, dan lancar rezekinya. Karena dia punya istri yang cerdas dalam mengatur keuangan, mampu membuat dirinya dan keluarganya tampil elegan berwibawa tanpa harus menguras isi rekening secara berlebihan.
Dibalik itu, kekaguman saya terhadap ibu ini juga muncul pada ketaatannya terhadap sang suami. Dia akan meminta pendapat suami jika ada hal-hal yang berkaitan dengan pengeluaran. Second opinion. Suaminya berperan penting disana.
Yang juga saya dambakan.. Untuk punya second opinion, (tapi posisi itu untuk sementara masih dipegang oleh Ayah saya, yang tadi saya telpon mendadak hanya untuk bertanya merk pendingin ruang apa yg harus saya beli. Menelpon kontak yang sejak SMA saya beri nama: Big Boss).
***
Menilai seseorang dari tampilan luarnya sangatlah tidak bijak. Dan bukan begitu cara seorang minimalist bersikap.
Minimalism yang saya yakini, tidak bergantung pada kuantitas. Namun kualitas. Bukan juga untuk pamer, karena melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu karena takut dilihat orang, termasuk perbuatan riya. Dalam islam, riya termasuk dosa besar yang harus dijauhi.
Minimalism menghindari riya, dan belajar mengenal diri sendiri. Dengan memilih hal-hal yg spark joy untuk diri sendiri, adalah ajang untuk mengetahui, siapa diri kita sebenarnya.
Comments
Post a comment