Universe works in mysterious way. Just like love. Kalau di post sebelum ini saya bilang 'sampai jumpa setelah Hari Jumat' sebetulnya saat itu saya tidak tahu apa yang akan terjadi di Hari Jumat atau setelahnya. Karena saat saya tulis pesan singkat itu, Sabtu saya masih kosong tanpa agenda. Dua hari setelahnya baru saya menemukan sebuah acara, Project Semesta namanya dan di saat yang sama seorang teman lama - enam tahun lalu terakhir kita bertemu - menyapa dan memanggil di sosial media.
Saya timbang-timbang, ketimbang memilih salah satu mau menghadiri yang mana (ajakan temu kangen atau berbincang minimalist dengan Project Semesta), maka saya putuskan untuk menggabungkan keduanya, dengan agak sedikit maksa.
***
Dari perbincangan sore tadi di Union Yoga, saya dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya orang-orang yang berkumpul untuk mendengarkan talk about minimalism, memiliki persoalan yang serupa. Semua berangkat dari pain, desperation, sadness, yang membawa pada keinginan untuk melangkah lebih baik. Menyederhanakan hidup di tengah-tengah sibuknya kota Jakarta.
Saya pun awal menemukan minimalism berkat bertemu dengan Ka Bukhi (yang menjadi pembicara dalam acara sore tadi) dan Ka Diana (mahasiswi pasca sarjana di Amerika sana). Saat itu saya sedang dalam kondisi pada umumnya anak pertengahan duapuluhan krisis, desperate, insecure, losing love, craving for attention, yang disembunyikan dalam jerawat-jerawat nakal kecil-kecil.
Tanpa sengaja Ka Bukhi menyarankan saya untuk berbenah, dan mengenalkan metode KonMari. Teknik berbenah yang digagas oleh Marie Kondo yang percaya bahwa berbenah -seperti halnya memasak- tentu ada resep yang harus diturun temurunkan.
Sejak itu saya mulai menelusuri tentang Marie Kondo, dan mengikuti pembicaraan-pembicaraan mengenai Mental Health sampai bertemu dengan Josh dan Ryan di The Minimalists.
***
Seperti scattered dot yang terkoneksi satu dan yang lain, teman yang saya bawa berulang kali menyatakan takjubnya kebetulan yang dia tengah rasakan. Taburan cerita tidak habis dibawakan sepanjang jalan dari keluar kelas hingga selesai makan malam. Tentang betapa dia tidak pernah merasakan perasaan yang dirasakannya sekarang, lalu tanpa sengaja melihat postingan saya di sosial media yang jarang ia buka, dan kemudian dibawa ke dalam kelas Minimalism yang pada akhirnya menghadirkan ide baru tentang apa yang mestinya ia lakukan.
Dan sewajarnya energi, energi bahagia yang ia letupkan, menular ke saya. Cara sederhana untuk bahagia; membantu orang lain menemukan jalannya.
***
Beberapa minggu terakhir memang saya banyak dikejutkan oleh pesan-pesan masuk dari kawan lama, yang tengah bimbang atas apa yang sedang mereka hadapi. Kebetulan, semuanya perempuan. Satu persatu saya temui, temu muka lebih efektif ketimbang video call memang, dan dengan cerita yang amat berbeda.
Usia yang variatif antara teman satu dan yang lain, membuat saya berpikir bahwa.. tidak perlu takut atau minder karena merasa 'kekanakan' ketika sedang jatuh cinta. Karena pada usia berapapun, dua puluh, tiga puluh, bahkan empat puluhan pun akan kembali menjadi kanak ketika dilanda asmara.
Semua bingung, dan tidak tahu harus bagaimana, sedangkan ego inginkan dia hadir terus menerus.
Yah.. saya juga tidak akan bisa menjawab harus bagaimana karena saya pun masih demikian. Tapi setidaknya saya siap mendengarkan antusiasme itu sepanjang malam. your ears won't hurt.
***
Di saat seperti itulah memang kita butuh Minimalism. Minimalism bukan hanya soal berbenah, memberesi barang-barang lalu kesal ketika barang menjadi semakin banyak atau tidak bisa dibuang -karena milik keluarga - tetapi soal cara memandang persoalan yang selalu ada dalam hidup.
Minimalism menjaga seseorang agar tetap tenang, ketika dia diberi kebaikan (rejeki) tidak terlalu sombong dan berfoya-foya, dan ketika dia terpuruk (bangkrut) tidak terlalu sedih dan merundung.
Ketenangan itu yang dibutuhkan utamanya oleh perempuan. Kenapa? karena perempuan nantinya akan menjadi sumber ketenangan bagi keluarga. Jika seorang ibu tenang, maka seisi rumah akan bahagia. Jika seorang Ibu merasa sempit, selalu kekurangan, maka rumah itu akan terasa bagai neraka. Bagaimanapun, yang set the tone of the family, perannya ada pada perempuan.
Ya, saya seorang impulsive, meletup-letup berambisi dan sangat antusias. Saya cepat bosan, seperti umumnya orang enerjik lain, dan mudah marah jika ada yang tidak sepaham.
Melalui Minimalism inilah saya mencoba untuk mengembalikan pertanyaan-pertanyaan esensial pada diri saya, untuk bisa menciptakan karakter tenang yang selama ini tidak pernah ada.
***
Di akhir pembicaraan tadi, kita sepakat bahwa semua ini kita lakukan bergantung pada tujuan hidup masing-masing. Tentu berbeda satu sama lain, dan adalah hak segala bangsa memiliki tujuan dan mimpi berbeda.
Namun sejatinya bagi kita yang beragama, Minimalism juga adalah bentuk ketaatan. Karena Tuhan tidak pernah suka yang berlebihan, juga tidak menyukai orang riya' atau melakukan sesuatu karena orang lain.
Jika itu yang kita jadikan tujuan, (Tuhan), maka apapun yang kita lakukan.. adalah untuk Dia. Hanya Dia yang pantas kita berikan segala tujuan, karena pada-Nya juga kita akan kembali. Bekerja? Untuk mencari ridho-Nya, karena Tuhan tidak suka orang berpangku tangan pasrah menerima nasib. Menikah? juga karena mencari keberkahan hidup dari-Nya, karena Tuhan sudah mentakdirkan ciptaannya hidup berpasangan.
Insya Allah, tidak sulit bagi seorang Muslim untuk menjadi seorang Minimalist. We have our life time example, yang tidak akan lekang oleh waktu; Rasulullah SAW.
Saya timbang-timbang, ketimbang memilih salah satu mau menghadiri yang mana (ajakan temu kangen atau berbincang minimalist dengan Project Semesta), maka saya putuskan untuk menggabungkan keduanya, dengan agak sedikit maksa.
***
Dari perbincangan sore tadi di Union Yoga, saya dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya orang-orang yang berkumpul untuk mendengarkan talk about minimalism, memiliki persoalan yang serupa. Semua berangkat dari pain, desperation, sadness, yang membawa pada keinginan untuk melangkah lebih baik. Menyederhanakan hidup di tengah-tengah sibuknya kota Jakarta.
Saya pun awal menemukan minimalism berkat bertemu dengan Ka Bukhi (yang menjadi pembicara dalam acara sore tadi) dan Ka Diana (mahasiswi pasca sarjana di Amerika sana). Saat itu saya sedang dalam kondisi pada umumnya anak pertengahan duapuluhan krisis, desperate, insecure, losing love, craving for attention, yang disembunyikan dalam jerawat-jerawat nakal kecil-kecil.
Tanpa sengaja Ka Bukhi menyarankan saya untuk berbenah, dan mengenalkan metode KonMari. Teknik berbenah yang digagas oleh Marie Kondo yang percaya bahwa berbenah -seperti halnya memasak- tentu ada resep yang harus diturun temurunkan.
Sejak itu saya mulai menelusuri tentang Marie Kondo, dan mengikuti pembicaraan-pembicaraan mengenai Mental Health sampai bertemu dengan Josh dan Ryan di The Minimalists.
***
Seperti scattered dot yang terkoneksi satu dan yang lain, teman yang saya bawa berulang kali menyatakan takjubnya kebetulan yang dia tengah rasakan. Taburan cerita tidak habis dibawakan sepanjang jalan dari keluar kelas hingga selesai makan malam. Tentang betapa dia tidak pernah merasakan perasaan yang dirasakannya sekarang, lalu tanpa sengaja melihat postingan saya di sosial media yang jarang ia buka, dan kemudian dibawa ke dalam kelas Minimalism yang pada akhirnya menghadirkan ide baru tentang apa yang mestinya ia lakukan.
Dan sewajarnya energi, energi bahagia yang ia letupkan, menular ke saya. Cara sederhana untuk bahagia; membantu orang lain menemukan jalannya.
***
Beberapa minggu terakhir memang saya banyak dikejutkan oleh pesan-pesan masuk dari kawan lama, yang tengah bimbang atas apa yang sedang mereka hadapi. Kebetulan, semuanya perempuan. Satu persatu saya temui, temu muka lebih efektif ketimbang video call memang, dan dengan cerita yang amat berbeda.
Usia yang variatif antara teman satu dan yang lain, membuat saya berpikir bahwa.. tidak perlu takut atau minder karena merasa 'kekanakan' ketika sedang jatuh cinta. Karena pada usia berapapun, dua puluh, tiga puluh, bahkan empat puluhan pun akan kembali menjadi kanak ketika dilanda asmara.
Semua bingung, dan tidak tahu harus bagaimana, sedangkan ego inginkan dia hadir terus menerus.
Yah.. saya juga tidak akan bisa menjawab harus bagaimana karena saya pun masih demikian. Tapi setidaknya saya siap mendengarkan antusiasme itu sepanjang malam. your ears won't hurt.
***
Di saat seperti itulah memang kita butuh Minimalism. Minimalism bukan hanya soal berbenah, memberesi barang-barang lalu kesal ketika barang menjadi semakin banyak atau tidak bisa dibuang -karena milik keluarga - tetapi soal cara memandang persoalan yang selalu ada dalam hidup.
Minimalism menjaga seseorang agar tetap tenang, ketika dia diberi kebaikan (rejeki) tidak terlalu sombong dan berfoya-foya, dan ketika dia terpuruk (bangkrut) tidak terlalu sedih dan merundung.
Ketenangan itu yang dibutuhkan utamanya oleh perempuan. Kenapa? karena perempuan nantinya akan menjadi sumber ketenangan bagi keluarga. Jika seorang ibu tenang, maka seisi rumah akan bahagia. Jika seorang Ibu merasa sempit, selalu kekurangan, maka rumah itu akan terasa bagai neraka. Bagaimanapun, yang set the tone of the family, perannya ada pada perempuan.
Ya, saya seorang impulsive, meletup-letup berambisi dan sangat antusias. Saya cepat bosan, seperti umumnya orang enerjik lain, dan mudah marah jika ada yang tidak sepaham.
Melalui Minimalism inilah saya mencoba untuk mengembalikan pertanyaan-pertanyaan esensial pada diri saya, untuk bisa menciptakan karakter tenang yang selama ini tidak pernah ada.
***
Di akhir pembicaraan tadi, kita sepakat bahwa semua ini kita lakukan bergantung pada tujuan hidup masing-masing. Tentu berbeda satu sama lain, dan adalah hak segala bangsa memiliki tujuan dan mimpi berbeda.
Namun sejatinya bagi kita yang beragama, Minimalism juga adalah bentuk ketaatan. Karena Tuhan tidak pernah suka yang berlebihan, juga tidak menyukai orang riya' atau melakukan sesuatu karena orang lain.
Jika itu yang kita jadikan tujuan, (Tuhan), maka apapun yang kita lakukan.. adalah untuk Dia. Hanya Dia yang pantas kita berikan segala tujuan, karena pada-Nya juga kita akan kembali. Bekerja? Untuk mencari ridho-Nya, karena Tuhan tidak suka orang berpangku tangan pasrah menerima nasib. Menikah? juga karena mencari keberkahan hidup dari-Nya, karena Tuhan sudah mentakdirkan ciptaannya hidup berpasangan.
Insya Allah, tidak sulit bagi seorang Muslim untuk menjadi seorang Minimalist. We have our life time example, yang tidak akan lekang oleh waktu; Rasulullah SAW.
Comments
Post a comment