Uang tidak bisa membeli senja. Saat waktu bergulir, seiring
dengan perputaran Bumi yang kian menua, tidak ada arusnya yang bisa
dikembalikan oleh karena tumpukan kertas yang harus diisi.
***
Senja perlahan bergulir, meninggalkan jejak jingga yang
selalu menjadi favorit. Pemandangan terindah, dan ter-melegakan dalam setiap
kunjungan lapangan yang saya lakukan di daerah ber-sungai yang mengharuskan
saya menyusuri sungai-sungai demi mencapai tujuan.
Awal tahun 2017 saya habiskan dengan menelusuri sungai-sungai
di Palembang. Selama sepuluh hari berkendara tanpa mobil, melainkan speed boat yang disewa untuk
berdua. Setiap hari berpindah dari satu
desa ke desa lain, menyusuri sungai dengan pemandangannya yang tak habis dalam
semalam.
Menjelang akhir tahun 2017, kembali saya telusuri sungai..
namun bedanya kali ini di Kalimantan Barat.
Decak kagum pada hutan yang masih lebat di kiri dan kanan,
teriakan antusias ketika ombak menyapa dan perahu terguncang, dan tawa lebar
ketika berpapasan dengan rekan sejawat yang berada di perahu berbeda.
Speed boat kami
melaju kencang, menjadi orang pertama yang berlabuh di permukaan. Yaaah, pelan saya gumamkan, ya.. karena
saya ingin perjalanan indah seperti itu tidak akan pernah berakhir. Yang saya
nikmati bukanlah tujuannya. Bukan mess berisikan perabot lengkap dan pendingin
ruangan. Bukan juga diskusi panjang untuk menyiapkan segala kebutuhan. Tetapi
perjalanan yang indahnya hanya bisa saya nikmati sendiri. Bukan untuk dibagi.
Seorang minimalist, akan mengedepankan pengalaman. Lebih
mengutamakan untuk berkesempatan ‘merasa’ ketimbang membeli. To experience economy, seperti misal, instead of buying a car, we prefer use taxi
or online transport as it’s a lot more simple and usable without having further
concern about maintenance.
Worry free, seperti
para penikmat senja menyusur sungai, menggunakan sampan-sampan yang didayung.
Sesekali kami jumpa perkampungan, perempuan laki-laki, tua muda, membersihkan
diri. Sepanjang sungai adalah kamar mandi, bagi mereka itulah yang terbaik.
Saya memandang dari kejauhan, bergumam membatin, betapa
enaknya mereka bisa mandi sore setiap hari dengan tepat waktu. Tidak perlu
khawatir mandi kemalaman, dingin dan terserang bermacam penyakit. Tapi tawa
anak-anak mereka begitu bahagia dengan cipratan dan ceburan air back and forth. Seolah membuktikan teori
bahwa bahagia bukan dibeli dengan uang.
Tapi dengan senja.
***
Menjadi seorang minimalist, juga berarti memilah mana yang
esensial untuk dilakukan sebagai kebiasaan dan mana yang patut ditinggalkan.
Dalam kasus ini, bekerja nine to five memang
adalah kewajiban, tetapi seberapa sering kita meninggalkan kantor tepat di jam
lima jika dibanding dengan lewat magrib?
Pekerjaan tidak akan selesai meski kita kerjakan dua puluh
lima jam sehari, karena akan selalu ada yang baru dan terus menerus
bersirkulasi seiring perjalanan Bumi mengitari Matahari. Menua, dalam tugas.
Menua, dalam stress. Menua, tanpa bisa menyaksikan keindahan eksklusif milik
kita sendiri. Seperti senja tadi.
Ya.. saya sadar satu hal kini. Telah saya temukan lagi apa
yang esensial dan akan menjadi pilihan utama dalam hidup saya; keluarga. Orang
tua seringnya menjadi agak terlupakan seiring dengan kesibukan, apalagi jika
pekerjaan telah membuat kita selayaknya orang penting. Seolah apa yang menjadi
kebutuhan mereka bukan lagi prioritas karena atasan akan lebih galak berteriak
jika titahnya tidak terlaksanakan.
Pilih. Minimalist selalu memilih. Dan dalam setiap proses
memilih, selalu ada dialog-dialog kecil antara logika dan perasaan.
Menyingkirkan beberapa inchi perasaan, yang bersifat
sentimentil, akan membantu kita untuk bisa menjalani hidup dengan lebih
realistis. Tidak lagi terpaku pada kenangan dalam benda, sehingga bisa berdamai
dengan benda yang tidak bersalah itu. Misal ketika ada pemberian dari seseorang
di masa lalu – sebut saja mantan – kita cenderung untuk membuangnya atau
menyimpannya, karena takut kalau-kalau suatu saat dia akan datang kembali
meminta semuanya.
Dengan mendalami minimalism, tentu seseorang akan paham
bahwa itu semua tidak penting. Tidak ada kaitannya dengan mengenakan baju
pemberian mantan dan perasaan terhadap sang mantan itu sendiri. Tidak akan
pernah lagi ada cerita, menangis karena melihat sepintas boneka dalam box
kenangan, yang teronggok berdebu. Kenapa? Karena minimalist bisa memilih apakah
benda itu akan tetap mereka simpan dan mereka gunakan atau akan tetap terabaikan dengan harapan jika suatu waktu – which most likely never happen – true story.
Jika barrier itu sudah bisa kita tangani, maka dalam balutan
pakaian apapun, entah dari pemberian atau bukan, senja akan tetap sama indah.
Mimpi adanya di depan, bukan di belakang. Menikmati senja,
sambil bermimpi untuk menikmati senja dengan seseorang yang tepat the one, tidak ada hubungannya dengan
sepatu apa yang kau kenakan dan apakah itu pemberian mantan.
Mampu menggunakan benda-benda itu pun adalah simbol dari
penerimaan. Bahwa kita telah menerima, berdamai, melupakan, dan melangkah ke
depan.
Memburu senja-senja indah, yang kelak akan dibagi berdua,
bersama dia yang tidak akan pernah pergi dan meninggalkan jejak benda-benda
lagi.
Comments
Post a comment