Pada sore hari yang penuh tawa, dan pertanyaan abang becak tentang dari mana kita berasal.
Terkenang, satu kota yang tentram bagai orang tua.
Pojok-pojok nya diisi dengan bangunan-bangunan khas, saksi bisu perubahan zaman yang terus bergerak, berputar.
Ada sesal yang masih terselip, pada seorang kawan yang sudah begitu baik.
Ia ada, dan mendengar. Dengan seksama dan bertutur dengan bijak. Pada saya yang begitu kanak. Penuh emosi dan ego menjulang.
Tentu saat itu saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Saya tidak paham dampak yang mungkin terjadi. Sebutlah saja bodoh yang membuat saya buta dan tuli. Hanya ingin berbicara tanpa mau mengerti.
Betapa kawan saya pun mempunyai latar belakangnya sendiri. Ia ada bukan saja untuk mendengarkan saya menangisi kegamangan soal hati. Ia adalah teman, dan semestinya teman adalah interaksi.
Saya yang terlalu tidak tahu diri.
Tidak mengerti situasi.
Bahwa ia ingin sendiri,
Karena urusan hati pun sedang dia alami.
Saya terlalu angkuh untuk merengkuh,
Dan menerima perubahan sikapnya yang acuh
Terus menerus menuntut jawaban,
Meminta keterbukaan,
Ingin dianggap sebagai teman, yang bisa ikut mendengarkan.
Tapi saya tidak mengerti,
Bahwa orang tidak selalu ingin berbagi.
Satu dua mungkin ingin disimpan sendiri,
Dan saya tidak mau mengerti.
***
Marie Kondo dalam bukunya pernah mengatakan bahwa, ketika kita siap untuk decluttering our life, maka kita harus siap juga akan hal-hal negatif yang mungkin bermunculan sebagai efek samping. Semacam detox, yang manifestasinya berbeda di tiap orang. Ada yang dengan timbul jerawat, ada yang dengan terserang diare, dan masih banyak lagi.
Efek samping dari perubahan yang saya kejar kali ini, adalah muncul kembalinya rasa bersalah pada masa silam. Yang sudah saya tutup sebagai kasus terselesaikan, walau sebenarnya bukan masalahnya yang selesai, melainkan pertemanannya.
Di tahun itu saya mengalami banyak kehilangan. Tapi kehilangan yang paling membekas dan merubah saya, adalah kehilangan seorang teman. Bukan dalam arti fisik, tetapi relasi.
Sekuat apapun saya berusaha melupakan dan melepaskan persoalan ini, ia selalu datang dalam berbagai cara tepat pada saat saya sudah mulai berhasil menghilangkannya dari pikiran.
Muncul tiba-tiba, membuka lagi, dan bersedih lagi.
Sesal itu pasti ada.
Sesal karena telah menjadi orang paling egois dan tidak tahu diri. Tidak mau mendengar apalagi memahami. Selalu menuntut kalimat verbal dan menolak membaca ekspresi.
Sesal itu kini bercampur malu.
Yang entah apakah masih ada kesempatan bagi saya untuk tampil sebagai orang yang baru.
***
Berdamai.
Bukan saja berdamai dengan apa yang pernah orang lain perbuat pada kita, tapi juga berdamai dengan apa yang pernah kita perbuat pada orang lain.
Memaafkan orang lain, lebih mudah ketimbang memaafkan diri sendiri.
Menerima kenyataan bahwa ternyata kita adalah orang yang egois, manja, pengecut, penakut, dan mau selalu didengarkan. Tidak berempati, tidak mau mengerti, seolah dirinyalah pusat bumi berotasi.
Maaf.
Maaf untuk diri saya sendiri,
Maaf untuk apa yang sudah saya perbuat pada saat saya masih belum mengerti,
Apa yang kemudian membuat saya mengerti,
Adalah serangkaian jatuh hati dan sakit hati, yang datang silih berganti.
Seolah ingin membuat saya mengerti,.
Bahwa ini yang terjadi pada kawan saya, setahun sebelum dia pergi.
***
To that one old friend, I owed so much.
Comments
Post a comment