"Describe the ideal marriage partner!" Sebuah pertanyaan bergema di dalam ruang sempit berukuran 2x3 meter itu. Saya hanya punya 15 detik untuk menyiapkan jawaban, dan punya waktu 3 menit untuk memberi jawaban.
"The ideal marriage partner is the one who committed to each other. As the wedding vows are talking about being loyal until death do us part, so the commitment and loyalty is the most part of ideal marriage partner should have.
And love. There should be love. Because love is.. Umm... Love is... Well..." Time's up.
***
I can't believe I'm doing this again. It's like the old time back in high school when I was in debating club, national competition, such a glorious time to me at such young age.
My critical thinking is being used again and thanks to that moment, I find it not so hard to do the tests. I am so excited and it recalls my memory back to high school, where.. Everything are so different and.. Scarry.
***
Yeah its true that I never know a thing about love. I thought I was in love when it was just lust. Or.. Just to show off, or to compete with his ex. I thought I know what is love, sampai saya dikecewakan oleh orang yang -saya pikir- mencintai saya padahal tidak sama sekali.
Jadi saya memilih untuk tidak lagi berani mencoba-coba apalagi berharap. Saya hanya akan pasrah pada arus waktu, mengikuti ritme dan alur bermainnya. Karena saya yakin, apapun yang saya lalui hari ini, adalah persiapan untuk masa depan saya yang telah termaktub dalam kitab-Nya di langit.
It's all written in the stars. Kita hanya harus percaya bahwa akan ada cahaya di ujung lorong sana.
***
Sadar bahwa saya sudah dewasa sekarang, membuat saya sulit percaya.. Benarkah ini semua? Kadang saya masih takut salah bicara. Takut salah bersikap, merasa tidak percaya diri ketika semua orang memuji. Ah.. Saya semakin tidak suka dengan pujian. Itu semua adalah racun berbisa yang mematikan. Melenakan. Tapi tidak ada apa-apa yang tumbuh di dalamnya.
Kita sebenarnya tidak tahu kan apa yang sedang terjadi? Atas apa yang kita lakukan sehari-hari, banyak yang mengakui bahwa mereka hanya berpura mengerti. Berpura menjadi yang terbaik dan paham akan segalanya.
While deep down, we're craving for some more information. Some more lecture and some more.. Guidance.
***
Find a job, get a girl, get married, have children, lalu ketika ada orang yang menolak pola tersebut dengan bangga ia berkata "adalah saya seorang yang tidak mengikut arus" tapi dalam hati ia menangis, merindukan suara lembut menenangkan setiap pulang dari kantor, haus akan makna hidup, dan lari ke dalam pelukan consumerism.
***
Kita semua -mau tidak mau- pasti akan masuk ke dalam lingkaran 'adult responsibility' yang tidak bisa dihindari. Satu-dua vacation hanya bisa menutupi sebentar, tapi tidak pernah bisa menyelesaikan satu pun permasalahan.
Ya. Kita harus hadapi. Untuk itu kita butuh pasangan yang kuat, agar bisa sama-sama menghadapi dunia yang semakin rumit ini. Itulah kenapa nasehat lama selalu melibatkan untuk mencari pasangan, dan tidak menyarankan untuk hidup sendirian.
***
Seorang teman mengeluhkan atasannya yang tiba-tiba menolak usulan yang telah lama ia perjuangkan. Seorang teman lain, melalui fitur komunikasi berbeda, mengeluhkan tentang partner kerja nya yang penuh dengan kekurangan. Saya harus menerima, menampung, dan menetralisir semua negative vibe yang masuk agar bisa tetap tenang.
Apa sebetulnya yang sering kita permasalahkan?
Tidak jauh dari ego. Ego traps. Merasa diri sendiri lebih baik dari orang lain. Mudah tersinggung ketika seseorang melakukan hal yang dia tidak sengaja, menolak mendengar alasan, menolak bersimpati. Apalagi berempati.
Ketika hidup sudah terlalu dipenuhi ambisi, itulah yang akan terjadi. Saya pikir menangani persoalan di muka bumi ini bukan dengan rapat berjam-jam di meja panjang dengan layar monitor lebar. Tapi dengan berkontemplasi, mengevaluasi diri sendiri, dan memikirkan kondisi orang lain.
Seberapa sering kita menyebut nama orang lain dalam percakapan kita dengan Tuhan?
Ditengah kegagalan demi kegagalan yang saya temui selama dalam proses mencari pasangan ini, saya belajar bahwa pembuktian cinta paling utama adalah ketika kita menyebut nama seseorang, mendoakan akan segala kebaikan dalam hidupnya tanpa ia ketahui. Cinta itu bisa untuk siapa saja. Ibu, Ayah, saudara, teman seperjuangan, sahabat, siapapun. Beruntunglah kalian yang namanya di sebut dalam doa seseorang, dan yakinlah bagi para pemberi doa, langit bekerja bagai cermin. It reflects what you send.
***
Ketika kita hanya berpura-pura mahir dalam bidang yang kita kerjakan, berpura-pura tenang dalam kesibukan yang menenggelamkan, selalu arahkan pikiran untuk menikmati every little moment. Because the time won't pass twice.
Tidak perlulah merasa diri paling hebat, paling mampu, dan paling sibuk. Karena toh kita cuma berpura-pura.
Uang yang kita hasilkan, adalah cerminan dari seberapa cerdas kita memainkan peran. Apa yang untuk dibanggakan? Sudahlah. Pulang lah ke rumah. Temui mereka yang mencintai dan kita cintai. Pelu dan rangkul mereka. Ukir senyum di wajah tulus mereka. Karena bahagia dan damai di bumi, berangkatnya dari sana.
Comments
Post a comment